29.9.11

Nona Senja & Tuan Lembayung

Sore itu sangat...sangat oranye sekali dan dalam perjalannanya Nona Senja tersenyum dalam lelap. Berfikir dan bercita semoga dia dipertemukan dengan Tuan Lembayung.

Nona Senja menutup mata, kini Bulan tidak bekerja. Dia tidak muncul menyapa. Pasrah saja. Mungkin Bulan sedang marah pada Nyonya Awan dan anak-anak malamnya. Dan ketika itu Nona Senja berdegup kencang sekencangnya harimau berlari berburu mangsa. Ya, Harimau itu berburu untuk menangkap satu titik temu. (Inilah) yang dia harapkan, sangat amat diharapkan.

"Sudahlah Tuhan, aku bukan Harimau. Aku hanya berupa kekanakan dan sangat buas untuk mewujudkan harapan. Dan malam ini saatnya. Ayo pertemukan! Dimohon dengan sangat!"


Kini Nona Senja berada dalam hutan. Ya, terlihat di sana hadirnya Tuan Lembayung sedang bersenandung dengan lantangnya. Jantungnya mati sesaat. Jiwanya terkapar merapat. Gusar? Iya, gusar sekarang memenangkan situasi ini. Situasi yang Nona Senja itu dewasa sesaat. Berfikir ke masa lalu. Penolakannya dahulu pada kesempatan sang Lembayung buat sesal yang berbisik pada perasaan terdalam. Maka, lahirlah sebuah anak. Dia bernama, 'pertanyaan'!


Mata, adanya titik temu itu pada satu mata. Matanya yang berkobar saat bersenandung. Keras dan gagah. Sangat menampilkan estetika. Harmonisasi dan lengkingan Tuan Lembayung buat Nona Senja hampir mengaburkan nyawa. Inginkan satu nafas dalam satu detik saja, namun senandung dan rupa dia buat Nona Senja berpanas tidak sanggup menutupi keambisiusan harapannya.

"Itukah bentuk surealis dari Tuan Lembayung? Tuhan, terima kasih sangat. Bukan rupa yang diingakan, tapi pertemuan ini yang diidamkan."

Detik-detik menjelang akhir dari drama, akhirnya Tuan Lembayung bersapa. Nona Senja terbata untuk berkata. Hanya senyum dan binaran mata yang kini mempertemukan satu titik temu. Titik yang dimana mereka berdua mengharapkan untuk saling temu. Sayang, waktu sedang tidak berkesempatan. Keterbatasan menjadi penghalang tidak untuk saling lebih lama bertatap rupa bagi mereka.

Tuan Lembayung tadi telah bersenandung. Kini pada Nona Senja hanya ada rasa mengapung. Yakinnya, kisahnya hanya akan menggantung tanpa ada tali yang terhubung.  Semoga dia tidak terus berkabung.

"Tapi saya senang dengan amat sangat, Tuhan. Terima kasih. Berikan saya kesepakatan lagi jika memang saya bisa menjadi satu dengan salah satu ciptaan-Mu itu."

Dalam keadaan masih terbata terbatas berkata. | V E R T

25.9.11

Surat Professor

~ Vert Dumm Piada
Hijau adalah warna hebat, lebih hebat dari warna sebelumnya yang pernah ada. Anak-anak sangat menyukai warna hijau, karena hijau bagaikan rerumputan dan sebagian anak kecil menyebutnya dunianya atau pun temannya.

Mungkin tidak mudah memahami ia. Hijau selalu berlari kemana dia mau, kemana dia kejar. Ia tidak menginginkan semua orang menuntutnya melakukan perubahan. Dia berpikir bahwa dia adalah dia. Bukan remote yang bisa dirubah sebagaimana anda menonton televisi.

Hijau memiliki pribadi yang luar biasa. Terlihat bodoh dalam berkata dan bertindak. Namun, sangat menyenangkan dan menghangatkan bagi sebagian teman disampingnya. Amarah ia sesekali memuncak, namun tidak berangsur lama meski saya pun sering merasa kesal dengan ulahnya.

Dia manusia penuh canda, tawa dan inti dari semua sangat berbeda. Ketika wanita pada umumnya merawat tubuhnya dan wajahnya. Ia tidak demikian. Ia cuek dan tidak memikirkan hal yang memusingkan. Ia pun mendengarkan lagu yang tidak biasa didengar hal sebayanya. Lagu zaman sekarang hanya merusak telinganya. Mau tidak mau saya pun harus menyelam ke dunianya. Bukan karena paksaan, mungkin sudah menjadi kewajiban lelaki untuk berbaur dan melebur.

Saya hanya berharap pada Hijau, bahwa saya tidak berniat mengganti pupuk yang menumbuhkanmu sekarang. Biarkanlah kamu berkembang sebagaimana kamu senangi. Mungkin sesekali saya mengarahkan timur, utara, barat dan selatan. Selebihnya, anda yang menentukan.

Saya tidak mau merubahnya. Saya senang dengan keaslian anda dengan hal bodoh yang membuat saya tertawa. Dan, inilah mengapa saya menamakan "Vert" "Dumm" "Piada"



23.9.11

Arubiru Anindya Pati

Memahami tempat berlabuhnya satu sisi tempat yang menyajikan surga duniawi. Tersiksa mendekap kehidupannya. Mendambakan uluran tangan bersayap cahaya, tulus dan lembut. Hangat memangsa bahagia di langit sana. Itu yang diharapkannya.

Sisi semu dari kehidupan kematian alam bawah logikanya merapatkan bahwa dia hidup memang berjalan tanpa kesempurnaan. Menjamah rindu Sang Tuan yang mengurai cumbu kebutuhan untuk alam firdaus sana. Tidak berirama dengan angin menyepoi. Dia hanya terbawa arus ombak berpuyuh dengan kencangnya -yang berakhir- kata rusak.

Terdampar dalam kotoran kelamin perusak kelugasannya untuk untuk 'tidak berperasa' pada sosial sekitar. Berjalan dan terus berjalan pada sisa hatinya yang masih mewangi untuk mengurai kedatarannya pada yang disayang. Ada satu pertanyaan kembali, "Mengapa mereka meniupkanku ke belahan tempat penuh dalam kubangan kemunafikan jika pada masanya aku hanya menjadi benalu dan dirusak?"

Dia ingin membiru tragis. Kekesalan dan kesedihannya buat peluh menjadi keluh. Sadar tidak sadar hanya cinta yang sejatinya akan membuat rambut yang terurai itu bisa terelus halus -hanya-oleh-seseorang-yang-tulus'. "Mengapa? Mengapa? Dan..mengapa?". Dia masih buta untuk memahami perjalanan menuju kematiaanya. Padahal, itu bukan hal sendu untuk dijadikan drama hidupnya.

Ini tidak akan disesali, namun akan ditangisi. Tapi dia tidak berharap apa pun. Semakin jauh melangkah, dia makin perih dan letih untuk siap diberi jawaban dari kata 'mengapa'. Ini dinamakan sakit. Ini dinamakan penyakit. Pikirnya mungkin itu.

Dalam dunia semu berwujud kaku. Hatinya tak bisa terjamah oleh apa pun dan siapa pun. Abstrak bila dijelaskan. Dia tidak mengerti makhluk apakah dia. Terlalu keruh bila diludahkan dalam kata-kata. Ratapan usang mulai membelanga dalam pikiran kosongnya. "Iya, aku gila. Lebih baik aku membiru. Mereka sudah kosong dan untuk apa aku hidup jika kekosongan mereka tidak bisa penuh dengan arti 'diberi dengan tulus'?" 

Tiba saatnya mengerti, jeritan berbentuk astral itu berbunyi. Mengiung-ngiung dalam khayal berwujud yang sebentar lagi akan diwujudkan. Bulan purnama sedikit menguning, kini menemaninya bersama gelap berabu tercampur biru. "Ya, aku akan menutup mata. Akan aku lakukan. Ini takdir yang aku buat."

Salah? Sepertinya mereka yang merusak pun sudah mendekap kegilaan yang kini terpelihara dalam logikanya.  Bermaaf, sudah terlambat. Berbicara sudah membisu. Berlinang dengan terjunnya air mata, sudah berbuat. "Tidak Tuan, aku tidak akan menyesal. Tagisan ini hanya sementara. Dalam neraka nanti aku akan menikmati. Jemputlah Iblis untuk menerjunkan arwahku dari tubuh biadab ini."

Maka, perlahan tanpa usang, dia terjun dari ketinggian. Tersenyum menikmati pesakitan yang dia terima. Menyadari inilah yang dia sebut bahagia, cinta dan damai. Tidak perlu ada beban, membebani dan terbebani. Maka, selamat tinggallah untuk mereka yang menyiakannya. Cerita kisahnya terlalu absurd untuk diperdebatkan dan dibuat kalimat.

"Tuan, inikah damai? Aku menikmati tubuhku dicumbu angin, bulan dan malam. Jaga mereka, -yang buat aku lumpuh- hingga sampai aku bertemu dengan semuanya di neraka nanti. Izinkan aku untuk bermaaf pada-Mu dan pada dunia sementara ini. Aku, Arubiru Anindya Pati, ingin berterima kasih untuk keabstrakan ini. Amiin."

Kirana sedang bersenandung. |  V E R T

11.9.11

D A T A R

Semoga tidak layu menjadi senja tanpa oranye. Kembali akhirnya pada masa transisi. Tanpa dia yang berwarna. Nampaknya hampa. Berguguran tanpa arah. Kasihan beribarat daun kering. Jatuh pada jalanan retak tanpa siapa pun yang menginjaknya. Tidak terjadi kontraksi apa pun. Hanya angin yang menggerakkan, namun sementara. Kadang kencang, kadang pelan, dan kadang berudara. Sungguh lelah dan melemah.

Anggaplah itu beberapa putaran ribuan detik yang lalu. Mari ke ribuan detik selanjutnya. Kini berusaha kembali segar dengan embun bersimbah dari terbitnya mentari. Dan nampaknya kembali menjadi lebih oranye meskipun ini bukan senja. Tapi, ketika membuka logika, ternyata ini hanya fatamorgana dan kembali berorgasme sementara. Yah, akhirnya kembali seperti biasa. Layu tidak, Hijau pun tidak.

Inikah datar? Sepertinya dengan keadaan normal akan terjawab, IYA! Kosong tanpa siapa pun. Hampa tanpa apa pun. Hanya menghasilkan kata 'tanpa', 'tanpa' dan 'tanpa'. Sangat abu-abu dan dendamlah pada kelabu. Terjadi pertentangan dengan kata 'mengapa', 'mengapa' dan 'mengapa'. Nampaknya akan membenih rasa lusuh seperti tanpa koma dan titik.

Isyaratnya, kapan akan terjadi pemberhentian masa ini? Siapa yang akan memicu untuk perubahan yang lebih berwarna dari masa ini? Apa yang dapat membunuh masa ini? Bagaimana cara berdiri kembali dari masa ini? Berapa lama akan terjadi masa ini?

Kebingungan terjadi. Ketakutan makin mengabadi. Kini, mengamati sendiri hingga menikmati. Memotivasi diri sendiri meski inilah akhir dari letih. Meskipun hampa, tapi itulah sisi nikmatnya. Memunculkan ke-absurd-an dalam logika. Simpulkan sesuai dengan segala yang sudah terjadi akhirnya inilah anugrah. Sebuah tantangan. Sebuah pertarungan akan membesarkan dan pastinya menguntungkan untuk pembentukan diri. Semoga..

Anak matahari masih tersipu dalam gelap. | V E R T

8.9.11

DI ANTARA

"Kenapa dan Semoga"
Pertarungan logika dan emosi kembali dicambuk.
Angka dua semakin diagungkan.
Angka satu tetap yang meraja.

"Cerdas dan Kekanakan"
Dua karakter dipahami.
Adaptasi dibutuhkan demi keuntungan.
Keseimbangan diperlukan hingga tersadar ialah tantangan.

"Mencari-Menunggu-Menjemput"
Silahkan memilih sampai terjadi persekutuan pada diri.
Perjalanan sedang terlaksana hingga nan jauh ada jawaban.
Kesepakatan akan diberi dengan yang dipilih dan terusaha.

"Seimbang"
Tersulit-Paling sulit-Amat-Sangat
Tetap diantara dua, silahkan kuatlah dengan tantangannya.
Lakukanlah karena itu pembentukan pola apa pun dalam diri.

"Terlalu dan Satu"
Terlalu pada apa pun, bunuhlah!
Terlalu pada siapa pun, hindarlah!
Hanya satu, terlalu pada Penguasa ter-sempurna diantara paling sempurna.

Saat Munir telah menjadi abu-abu pada angka 7. | VERT DUMM PIADA