22.4.12

Cerita Debu

Duduk bersimpuh lesu. Muram tanpa ada kesan geram pada lingkaran berbau masam. Kursi yang terus menari, mencoba menghibur tanpa lelah karena akulah pemicunya. Di sini semua melepuh dan bersahabat dengan benang-benang putih. Yang dulu kokoh, kini telah mengelupas.

Temanku adalah mereka, bingkai-bingkai bercerita. Setidaknya cukup menghibur walaupun harus menutup mata dan melangkah mundur. Sadar hanya satu, bukan ada beberapa di sini. Jadi hanya merekalah temanku, disertai mereka yang membuat semuanya berdebu.

Aku senang duduk bersendagurau dengan lampu alam. Meskipun terkadang dia malu-malu untuk mengetuk pintu dan jendela. Namun terkadang pula aku yang takut untuk menengok keluar sana. Risih dan terasa segan akan selain mereka yang melihatku nanti. Itu adalah alasan depresi.

Dulu aku selalu berdoa. Bercita semoga mampu menjadi dia yang beranggun dan berelok. Melihat mereka yang berkepunyaan itu semua berada dalam lingkaranku selalu rasanya dipecut. Aku hanya berpetak umpet saja dalam cangkang busuk. Setidaknya menjadi siput, tetapi memilih menjadi bunglon. Sayang sekali.

Sempat aku memiliki yang gagah. Menyatu selalu dalam kisah dua diantara suka dan duka pada cerita umumnya. Menjadi setengah yang selalu memenuhi kata saling. Sebelum berakhir dengan yang ditentukan Pencipta, ternyata akulah yang mengakhiri cerita. Mengakui hanya karena krisis skeptisasi pada diri sendiri. Buat sendiri tak berani akui ada sisi suci dalam diri untuk dia yang gagah.

Kini yang sudah lemah semakin melemah. Dulu yang sudah takut semakin menakutkan. Hasil yang sudah terjadi adalah tidak ada apa-apa. Lebih jahat sepantasnya iblis adalah menjadi nol atau sebutlah menjadi sendiri. Ditemani dengan doa lama berbungkus laba-laba. 

Sepertinya aku adalah debu. Hanya mampu membuat semua kusam dan berkenang. Bergerak pasrah, pelan dan tidak pasti kemana.

Seandainya memiliki manusia kedua, ketiga atau seterusnya, aku ingin memaksa dia untuk bersahabat dengan belajar, berjalan dan bertahan. Dan memperkenalkannya dengan yang bernama kegagalan, ketakutan dan penyesalan. | V E R T

21.4.12

Harapan Buruk Rupa

Aku ingin menjadi merah muda
Atau mungkin menjadi peach yang merona
Mematikan visual dan hati yang menjadi racun saja
Berhasrat untuk bercinta atau sekedar kagum semata

Aku ingin memakai sepatu kaca
Setidaknya dapat disimpan olehnya yang mencinta
Dan dicintai atau sekiranya terpandang olehnya yang terus memandang
Selayaknya mungkin dapat menari jalanan tanpa dipandang jalang

Aku ingin benang-benang hitam ini cepat terurai
Agar nyonya kaca tidak pecah menyampah wajah
Agar nyonya kaca mudah untuk bersampai dengan kata
Bahwa di depan adalah yang tercantik dilihatnya

Aku ingin segera menjadi seutuhnya hawa
Utuh seutuh-utuhnya sebagai lambang keanggunan
Tak bermaksud menutup dan sembunyi kekuatan
Tetap pada keseimbangan dari sunyinya kelembutan

Suatu saat dia adalah sang hawa bersepatu kaca dengan benang-benang hitam yang terurai. | V E R T