31.3.13

DEAR, DAPUR

Dulu, duduk di Dapur. Sepulang bekerja, otak berlumur rumus-rumus duniawi. Lelah sampai memasak terigu keriting beracun bertangan polos belum berlumur nanah kelamin untuk menjamah.

Dulu, dekat jendela di Dapur. Banyak sekali makhluk-makhluk basah nokturnal. Menyapa segala puji-pujian bergemericik. Menyatu, berbasah ria mengayunkan lambaian sahabat. Mungkin ialah pengganti hipnotik psikedelik televisi. Sayang, waktu masih berjalan, saat itu.

Dulu, di Dapur hanya ada Dapur. Dia melihat, hanya mampu merekam. Matanya bisu menyaksikan sendiri dicintai kesendirian. Yang ditunggu hanyalah Bersama. Sayangnya, pun, waktu masih berjalan.

Dulu, di Dapur... Dapur menimang sampai tidur. Masih melihat, masih merekam, masih bisu dan tetap mewadahi. Itu saja, karena waktu masih berjalan. Dan, sayang, waktu (memang) masih berjalan.

Kini, sayangnya, waktu menyadarkan. 
Dulu, Dapur dan Perawan sangat menyedihkan.

V E R T

25.3.13

Langit, Pinus Berudara, Laut

Laut: "Aku astaga-apa-ini-namanya."

Langit: "Aku dan Kamu buat kisah."

Laut: "Kisah Kami."

Langit: "Kita berkisah."

Laut: "Kisah kita diawali perpisahan."

Langit: "Perpisahan mempertemukan kami."

Laut: "Satu pintu tertutup, pintu lain terbuka."

Langit: "Jadilah dua dalam satu pintu sama."

Laut: "Pintu itu menuntun kami menuju lorong, ujungnya gelap dan ketika kami melihat ke belakang, lebih gelap, tapi kami punya cahaya. Cukup untuk kami berdua; saya bisa melihat wajah kamu dengan jelas pun sebaliknya. Jangan redup."

Langit: "Jadi, kami adalah cahaya untuk kita. Biarkan kini berproses untuk menjadi nanti hingga lahir pasti."

Laut: "Jadi, jalan ke depan. Titik berangkat sudah tidak mungkin didatangi lagi, sementara 'pasti' masih nanti, sama gelap. Tetap beriring akan lebih mudah, jauh lebih mudah. Saling beri cahaya. Jangan redup."

Langit: "Karena Semoga dan Amin ialah perantara; saya percaya; kamu setengah; saya setengah."

Laut: "Saya percaya kamu setengah saya, sejauh ini, sampai saat ini. Saya temukan kamu, kamu temukan saya. Dan benar, kamu mebawa perbuhan besar dalam hidup saya."

Langit: "Dari titik menjadi garis, maka terukir lukis. Saya di atas, kamu di sana, bertemulah kita di antara pinus berudara."

Laut: "Kamu sedang peluk saya dari belakang ya? Merinding."

Langit: "Semoga dan Amin."


Kami adalah Kita. 
Kita berasal Dua. 
Satu sebagi setengah. 
Firdausnya di Pinus berudara.
V E R T

24.3.13

Keju Matang Sebagi Kraker Hitam

AWALAN.
Ada yang berkata, "Saya kejukan kamu!" Ah padahal sejuk saja maknanya. Hingga balada di antara Ki dan Ta saja belum berhenti untuk menjadi pasti. Sialnya, tidak pernah mau mengerti tapi mengharuskan mengerti karena tanya masih menjadi tanda. Tidak perlu, cukup dirasa menjadi perasa.

Lalu lalang bidang ilalang belum saja menghilang dan Ka beserta Mi masih saja menghirup kraker hitam ini bersama. Sebuah rancangan visi dan misi dibentangkan dalam satu meja klasik. Berhimpunan untuk mencari simpul. Tetapi apalah munafik sampi picik mengapit sesempit kopi pahit. Dua tetap saja tidak beringin untuk tahu dan mempedulikan peduli.


Sebundar umpatan, sampai keju dan kraker sungguh memetik jambu semerah merdu, mungkin. Menyeruput manis di antara asinan renyah sampai Semoga dan Amin menjadi sarapan 24 dalam 7, harapnya lama menjadi selama. Kenyang dan sungguh cukup. Dipastikan untuk menjalani pasti namun memang belum pasti. Ah, peduli durga, Dua tak peduli nanti, hanya kini. Sebagian sebagai setengah sebagi.

Yassalam, Alif dan Gusti. Kalian meraja Antariksa, Hutan Jalang dan Samudera.
V E R T

13.3.13

Karena yang Sudah Mati Cepat Larinya

Kaku bergagu gagap menggagu yang termangu. Sebutnya kematian dini. Dalam monokrom garis-garis sepanjang lebaran terpanjang tanpa hent, nol mudah dicari. Di belakang punggung padahal bersemayamnya. Antonim tersadar, sebenarnya ya. Nol adalah refleksi hitam.

Tari-tarian semilir oksigen bersimetris. Pandang titik sudah tak mampu mempertahankan sang penahan dalam pertahanan yang pantas dipertahankan.

"Aku memilih mati dalam kebebasan berbatas. Ini batasku, jangan berseru mau pun berkutip."

Masih melentikkan jari. Berkedip dalam pikir. Berlari menuju pelarian mencari nol yang melangkah dalam gerak lari-larian. Dalm remang sembari bermonokrom ria.

"Sampai mana akan berhinggap, secepat itu pula aku sendu atau pun sendiri."

Laju gemuruh rongga-rongga rusuk merajut jantung berdegup untuk hidup. Masih dalam tanya bertanda.
"Aku akan selalu menghisap merah lalu memerah jambukan adanya."

"Karena terpujilah, setelah nol akan ada dua untuk mengevolusikan satu", ucap Herr


Akhir berada dimana-mana. Buta saja yang menghalangi.