28.5.13

APAKAH

S A T U
Kita sepakat bahwa kita berbeda.
Aku bukan penyair atau tukang syair keliling yang menggodamu melalui kata.
Kau bukan penonton atau tukang monoton yang menderu penuh gebu melewati bicara.
Seolah aku dan kau berbeda bahwasanya kita memang beda.
Aku berlubang dan kau berbatang.

D U A
Bukan, bukan sebenar-benarnya itu.
Padahal kita mencinta di atas ruh setelah firdus ketujuh dan dunia kesembilan.
Sungguh, sesungguhnya aku hanya menunggu.
Dan kau belai membelai sembari berkata penuh dengan degup.

T I G A
Jawaban harapan itu hanya ada di dalam letusan setelah mati.
Membangunkan ketika sudah waktu tahunya kapan dan berapa jumlah tabungan larva.
Larva-larva penuh oranyeu yang memanaskan bara di antara, sedang dan saat kita menjadi kita.

E M P A T
Berdua akan biasa karena terbiasa.
Masih tetap biasa, terlelap membenahi kayu bakar di lembah suram.
Kini tetap kini sampai ada saat nanti.
Tentu saat kita tahu bahwa kita sudah ada di saat nanti.

L I M A
Tetapi kau sadar dan aku tetap termangu.
Ini adalah kini.
Dan aku hanya mempermalu diri.
Sungguh dengan kesungguhan, sesungguhnya kini ialah saat ini yang terbentuk dari masa dan lini.

E N A M
Ini puisi dada dan seolah antonim dari realita monalisa dengan kumis serta cerutunya.
Apakah kau titik-titik dan aku koma?
Aku hanya menulis dan kau hanya menonton.
Serta dengan kesediaan semesta terjadilah kita yang terdiam mendiami diam.

T U J U H
Kita terlalu berbeda.
Karena aku beda dan kau beda.
Akan sampai menyatu dengan belatung.
Itulah pemisah dari benang merah menjadi bendera kuning.
Meresapi tanah hingga menjadi udara.
Sesampainya berdebu, karena menjadi sama.
Sesampainya menggebu karena berbeda, tetap saja kita adalah cinta.

Renung dan dengung. - ASTRONOUSA

27.5.13

Jangan Bunuh Rahim Saya

"Merah."
Deras, berselancar dalam getar rasa gemetar. Warna merah ialah yang kamu pilih untuk menyakiti Ibumu. Namun tetap diketahui itulah pemberian setimpal Pencipta. Inginnya bukan hanya kau, Ibumu pun takdirnya akan berperasa sakit. Dan masih tetap terjadi di pojokan remang dengan percikan nada-nada gemericik.

"Maaf."
Kematianmu tidak akan memisahkan keputusan temali yang sudah diputuskan atas pemilihan. Dikarenakan itu adalah pilihan terpilih. Sesampai senandung air mata bergumam di pojokan nada-nada percik berair, Ibumu tetap mengasihi dan menunggu kembali pulang.

"Mengudara."
Ayahmu berbicara bahwa kau lahir di antara tiga dimana puncak-puncaknya bulan berlomba dengan segala semesta bahwa dirinya yang teranggun di harimu. Ayahmu berbicara, bahwa kau sedang bermain di sana. Tempat dimana ruh belum menyajikan kemauan untuk menghadiri Ibumu di angka tujuh. Hingga Ayahmu berbicara kembali bahwa bersabarlah. Tetap bermain di udara. Biarkan Ayah dan Ibumu menyiapkan sebuah 'nanti'.

"Tunggu kami."
Ibumu takut dalam ketakutan ditakuti dirimu. 7 hari kelahiran, kematian dan pertungguan kebangkitan, Ibumu sungguh menjadi pesakitan atas kesakitannya. Itu bukan pembalasan, hanya saja timbangan telah mengukur apa yang harus dihadiahi untuknya. Sebuah rahim baru bernanah darah.


Fiksi setelah titik. - ASTRONOUSA

18.5.13

HARI AGRARIA

Berpegangan tangan dalam seluruh semesta gelap. Cahaya masih jauh disampai. Mereka memetik matahari dan membentuk burung kertas serta pepohonan dalam pohon. Mereka terus berjalan saat jalanan berbatuan,  maupun statis memakai saja. 

Memang belum lelah karena bersama, dipercaya Semoga dan Amin ialah kekuatan melebihi Bulan dan anak-anak antariksanya. Sama seperti auman Serigala Baik Hati, tetap saja Semoga dan Amin masih mengiringi. Atau Ratu Bambu yang menjelma menjadi Hitam-Putih tertidur membanjiri ranjang, tetap saja Semoga dan Amin mengkesinambungkan mereka-yang-masih-tetap-ingin-berjalan.

Kerikil-kerikil berdarah kerap membasahi pelupuk mata berdua. Masih berjalan, namun terkadang sepi di lorong gelap. Cahaya tetap saja bersahaja yang masih menunggu mereka untuk mengabulkan Amin-nya. Tertulislah dalam hatinya masing-masing, "Semoga prosesnya selamat hingga sampai tujuan."

Dan, hingga saat ini ialah hari salah satu untuk merayakan dengan sederhana. Tanpa figura mesra berdua. Hanya sebuah hadiah Semoga dan Amin membaluti di setiap rasa merah jambu yang ditanam berdua, tentu setiap waktunya. Ada tabungan rindu, ada kumpulan Amin dan Semoga tetap menjadi pemasukan tepat di antara Langit dan Laut, yakni Hutan yang dijunjung sebagai Rumah.

Hari ini diingat saat pepohonan bersejuk ria bekerja sama dengan udara meniupkan tenang yang sama-sama bersama untuk meromansakan kelahiran di Sabtu Dini Hari. Ini tahun ke 22 yang masih hidup. Hari ini ialah hari dimana segala tanaman tersenyum merayakan kesuburannya yang harapnya terus semakin subur mengabulkan Amin-nya. Semoga, Amin.


Selamat Mengulang Muda
Selamat Hari Agraria ke 22

Bandung,
Menabung Rindu
Mengumpul Semoga
Mengabul Amin

Dzikry Puji Gustina - Astronaut No. 5 - Panda