6.8.13

Sehelai Bahaya, Sepucuk Dosa

Melahirkanmu adalah setengah kasihan
Melarang keberadaan kematian lanjutan
Melahirkanmu adalah aku si penyusu
Daripada harus terbunuh 7 jam gemuruhmu

Dari jauh aku menghampiri yang terluka
Itu adalah rapuhnya kacamata, ternyata
Ku pegang lembut telingamu penuh sutra
Tatapku, tatapnya, akan membunuh nanti, katanya

Mengembalikan kebohongan adalah melahirkanmu
Mengawali kematian, memberkati kejujuran
Sehelai bahaya, sepucuk dosa adalah mendatangiku
Akulah cermin dirimu, sebaliknya akan membunuhmu 

Saat gadis, aku si ambisi sadis
Ibu melarangku seolah ambisi ialah dosa
Tahunya ambisi ialah selubung bahaya
Dan, aku hanya senyum dibalik bisa

5.8.13

Doa Pelacur

Dulunya pelacur berlipstik merah yang kini dalam gereja sedang berdoa. Harapnya lekas datang semoga, namun tak bisa. Meremas resah, mencampur gundah. Lahirlah lelah dalam sejenak sementara.

Yang kini merevolusikan seekor munafik dengan memperkosa jalang agar bersatu dan sejantung. Mendoakan sebuah amin memakai jubah hitam. Menyilangkan jari, mensketsakan pinta.

Tu(h)an, seruan biduan rendahkan doa di dada untuk melepas lipstik merah. Jadikanlah aku seutuhnya manusia seperti manusia lain yang memiliki kemanusiaan manusia. Maaf dan selesai. 

4.8.13

Kopi Pasteu

Sulit sekali ketika sedang kumuh berlumur lumpur, lalu menyeberangi dua jurang dengan batang. Aku berhati-hati. Sudah takut, tetap saja lirikanku ke bawah. Melihat arus menyapa lirih. Liriknya berwarna biru. Seolah akan membuat darahku pun lebam ungu.

Saat menulis, jalanku menuju tengah. Andai saja...dan aku masih berandai-andai. Bagaimana menjadi satu diri-dua jiwa. Seperti terbuat dari mesin fotokopi. Yang satu pahit. Yang satu pekat. Jadi, berdelusi ada dua. Inginya segera sampai ke pelupuk mata.

Dan (masih) saat aku menulis, jalanku sudah melewati tengah. Lirikanku masih dilirik arus biru. Dengan gagahnya, aku sombongkan ke-aku-anku. Aku yang melankoli, setengah likantropi. Seekor likantropi di saat musim semi. 

Kedua tangan ini masih sebagai penyeimbang. Mata ini sebagai proteksi. Hawa badanku sebagai pertanda, memang betul aku ialah bangkai berjalan. Sungguh, seharusnya melodi melankolis yang kutulis tak harus memiris batin. Sialan...

Masih berharap ada dua. Biar kedua diriku itu yang saling membantu. Bukan batang, biru, cuaca, suasana atau semesta. Jadi, aku tidak perlu terjatuh yang-kini-lebam-muram. Bangsat kau alam...