30.3.14

Jubah

Boros kata-kata dalam prosa, habislah sajak bersuara. Tidak yakin pada apapun sembari sumpit Lucifer memotong leher kalimat-kalimat puji. Seni menyegarkan anggapnya, menyeruakan gembira di neraka. Mengutuk yang bersahaja di piramida atmosfera. Percuma kini menjadi raja dan kutuk berada di sekitarnya. Diam saja bermakna mati saat hidup bersama kehidupan.

28.3.14

Hutan dan Salju

Setelah terbangun ada tanda tanya disekeliling Rubah. Nanar penuh naas beserta macam najisnya, dilahaplah organ-organ utuh. Berbasuhlah bir merah. Memuaskan dahaganya. Yang keluar berupa roh hanya diam menatap dingin. Tidak berselimut tebal penuh dendam. Karena dirinya tahu, menyadari akan kembali bersama bagian bumi.

Salju dan Hutan

Masih menikmati di antara pengelilingan labirin. Tertahan oleh tahanan yang bertahan menahan arahan perubahan. Seharusnya dan seharusnya, muncul selalu, dan ada.

27.3.14

Melankoli

Rontoknya daun sephia bertanda menuanya usia kedinian bumi yang berdiri. Seolah tak menerima putaran evolusi, stagnan berereksi di setiap centimeter. Aku layu senyap melepuh. Bergemuruh ditelan rupa pun lumpuh.

25.3.14

Solitude 1

Bergumam merujuk yang menunjuk oleh tunjukan penunjuk. Sebagai salah satu arogan dan ego yang bertahta kasta, maka disiksalah kerenungan hening. Sebuah cipta yang tak maha karya. Hanya seonggok cair sisa dari keringnya pasir bergurun gugur begitulah lukis sosoknya.

24.3.14

Petualangan Murahan

Di laut yang kaku selendang sutra membeku. Merayap, menyantap, menangkap kamuflase di antara aurora-aurora abu. Serupa namun tak berupa. Berkeliling di antara rerumputan bulu kuduk yang berirama menandakan nada bersama ritma-ritma jengah.