26.4.14

मी

Sebab telah dipulangkan pada penjaga ego, membuyarlah aku pada egosentrisku sendiri. Pesakitanku adalah pucuk dari orang tua. Pergi dan kembali membiarkan kandungnya sendiri.

22.4.14

Telaga ke Ujung Semesta

Sampai kapan mendung akan mengutuk bumi? Hujan berbisik bisu ditutupi manusia-manusia yang meraja. Membual kasih dalam selimut. Berpuja-puji doa, semua mengikis theis. Rindu yang diharap. Tulus yang didamba. Merona abu di pelupuk langit. Kami yang menengadah bernada lemah. Mengoyak raga, menenggelamkan asa. Begitulah kelam berdesah muram.

21.4.14

Pelawak dari Neraka

Menyeringai padaku, dan dia engatakan aku permaisuri semesta. Berliur sehingga hutan menyendu. Bumi berseru, akulah raja dunia untuk melingkari surga di bawah telapak neraka, Tawa yang beriau, lumpuh yang merengkuh seluruh nadir darah, maka saat itupun hitam mempersatukan jiwa garis-garis bintang di atmosfera sana. Aku tetap menjadi titik.

13.4.14

Dua Parfum

Aroma busuk berjingkrak menyatakan perasaan masing-masing. Bergumam kata, bergulat prosa dalam satu ranjang bersama. Sehidup di kehidupan maya, semati di perjalanan fana. Ditemukan dalam satu irama. Gemingnya gelisah bernada desah meluruhkan ego yang melumat satu cium untuk selamanya.

9.4.14

'H'

Membentang diam dari kerumunan fakir. Menenggelamkan kikir dari kafir. Kufur berlumpur, bercumbu haram dalam dubur. Aku beruam singgah dalam auman demam. Lagi, diam. 

2.4.14

Gugur, Pelangi

Cerita selanjtnya, berawal dari benih. Berkembang menjadi sebuah pengembangan di ambang lembayung terbang. Dijadikan lah sosok seorang. Kelak menjadi orang-orangan di antara orang-orang. Kelak, tanya jawab lahir, logika campuran rasa hadir.

1.4.14

Ranjang, Kekasih Kami

Bertarung dengan gulatan lemah. Lunglai melambai bergemulai. Mulainya pertanda kami telanjang di atas ring tepuk tangan malam. Bulan sebagai lampu. Lampu sebagai bintang. Bintang sebagai Tuhan. Tuhan sebagai saksi. Saksi untuk kami yang bergemuruh di antara senandung nada mengatasnamakan kasih.