21.6.11

UNTUK MEREKA

Untuk mereka yang pernah, sering dan hingga sekarang masih mengumpat, menjelekkan, menyindir, menghujat dan menghina di belakang ruang yang tidak saya lihat dan saya dengar.


Untuk mereka yang menganggap saya adalah kebencian. Mudah membuat mereka boros berpikir dan berkata pada sekitar dalam lingkup yang sama & hanya satu : MEMBENCI

Untuk mereka yang menyeruput air manis yang saya beri, namun dihamburkan kembali menjadi pahitan tak bertulang.


Untuk mereka. Semoga sehat walafiat dan selalu dalam ampunan Pencipta yang Maha Pemaaf.

Di sini, di sana, di mana pun saya akan bodoh dan diam. Tidak akan banyak berbual dan menjadi nol besar. Menghindar bila diperlukan, membela bila betul tertindas. Berkata akan terjadi saatnya jika redam sudah terlaksana, maka izinkan saya bertanya lalu berbicara.

Maaf dunia dan saya ini memang selayaknya cermin. Membiaskan hal yang berbeda pada sisi kanan, sisi kiri. Maafkan.

14.6.11

PROFESSOR

Sebelumnya, terima kasih detik. Kamu beri saya kempatan untuk bersuara dalam kata. Mohon lihat, inilah tentang dia, Professor!

Professor, merupakan otak dan buku bagi seorang labil si hijau. Penggerutu yang tidak tahu malu. Selalu jadi benalu. Pencipta pertemukan mereka dalam maya. Lalu, bersua ucap salam kenal dan akhirnya Tuhan beri kesepakatan pada mereka untuk lebih lanjut.

Namun, detik mengguru. Terlalu terburu. Merpercepat perputaran lap. Mereka semakin dekat, terus jalin menjalin. Maka, tepat dalam angka sial seperti yang umum kerap katakan, akhirnya mereka bersatu. Bekerja sama untuk ke depannya menjadi 2.

Air mengalir terang, udara berhirup tenang. Professor dan hijau sedang terbiasa untuk memberi pundak masing-masing pada masing-masing. Beratus hari seterusnya Professor ajarkan ilmu untuk si labil. Terus produktif hasilkan sesuatu yang buat si labil kini mulai stabil.

Dan, kini si labil memang pintar, cerdas, bijak membantu sekitar. Dan akhirnya professor beri dia nama VERT DUMM PIADA. Tentram ketika tahu Hijau menjadi pemilik nama VERT DUMM PIADA tersebut. Maka, dia 'bersebelas kata' amat sangat pada Professor.

Hingga saatnya mereka berdua semakin menjadi 2. Professor mulai ingin masuk dalam dunia Hijau. Apa yang Hijau suka, mencoba untuk menyuka. Dalam kisah inilah yang Professor sadar dia harus memorikan setiap perkataan yang dilontarkan Hijau untuknya tentang dunianya.

Memasuki detik ke 200-an, mulai terjadi perambiguan antara yang menjadi stabil kini labil kembali. Banyak pertanyaan terjadi pada Professor. Dan Professor kini sadar, dan terbangun. Hijau kini adalah pohon yang sudah semakin amat sangat tahu perbedaan oksigen & karbondioksida.

Semakin pintarnya Hijau, menambahnya pula pertarungan perbedaan pada dia dan Professor. Tersadarlah ternyata sudah terjadi retak didalam. Hijau menenangkan egonya bersama air. Begitupun Professor, menenangkan logikanya dengan udara.

Terima kasih dan akhirnya Pencipta beri  kesepakatan, waktu pun sudah beri dia kesempatan. Maka, saatnya logika menjalankan yang labil. Pertemuan tanpa diatur akhirnya bertemu, mempertemukan titik temu yang sudah kurang semu, antara yang baru pintar & yang sudah lama pintar.

Bercumbu dengan kejujuran. Akhirnya semua tersampaikan. Bersenyum kembali, kini sadari Hijau memang sudah pintar, dan Professor mengakui. Kepintaran buat buka semua pintu retak dalam inti kesatuan antara yang labil & stabil. Maka, saatnya sesuatu yang baik diputuskan akhirnya.

Yang labil berkata,
"Maaf & terima kasih Professor. VERT DUMM PIADA itu tidak akan terlupa."

Berdamailah Professor. Syukur dan kedua jari-jarinya pun terbuka berucap terima kasih pada Pencipta.
Mungkin sentuhan terakhir. Genggamannya, buat Hijau haru.

"Kamu akan saya masukkan dalam rumus-rumus kenangan saya. Dan tidak akan terlupa pula.", Professor lurus bermakna di depan Hijau. Perpisahan itu tidak buat Professor takut, namun lupa yang buat dia takut. Harap semoga tidak terjadi.

"Terima kasih. VERT DUMM PIADA itu adalah sebenar-benarnya saya. Kamu memang sangat tahu saya apa, mengapa dan bagaimana. Terima kasih Professor!"

Tertanda, Hijau yang pernah menjadikanmu sebagai otak dan buku.

11.6.11

Abstrak & Absurd

Abstrak : "Apa masalahmu? Kamu mau saya jalin pertemanan denganmu?"

Absurd : "Saya takut berteman. Saya takut tidak bisa berbeda."

Abstrak : "Tuhan menciptakan perbedaan agar manusia bisa saling berbagi manfaat dari perbedaan itu."

Absurd : "Tapi bedanya saya terlalu bangsat buat mereka yang berpikiran normal."

Abstrak : "Dunia ini tidak ada yang normal. Segalanya pasti punya kekurangan."

Absurd : "Haha... Lelah dengar kalimat itu...tapi yasudahlah..."


Abstrak : "Bukan hidup jika tidak diberi rasa lelah."

Absurd : "Yasudahlah. Saya sudah maluuuuuuu sekali..."

Abstrak : "Manusia diberi emosi. Wajar jika punya rasa malu."

Absurd : "Hmm, masalah saya tidak sekeren yang kamu kira. Percayalah."

Abstrak : "Yang keren itu bagaimana setiap personal berhasil menyelesaikan masalahnya secara baik."

Absurd : "Hahaha...Sedikit getir dan pasrah..."

Abstrak : "Wah makhluk pantang menyerah biasanya cepat mati. Mati di mata sekitar."

Absurd : "Bercitralah dengan opini pribadimu. Saya akan sedia menyanjung tanpa harus terpaksa."

Abstrak : "Buang-buang waktu. Jadi ada yang mau diceritakan?"

Absurd : "Oke. Pertanyaan ini mungkin tingkat kebrengsekannya sama seperti menanyakan, 'apa anda masih perawan atau tidak?'. Bisa dibayangkan?"

Abstrak : "Ada maksud apa dengan pertanyaan itu? Silahkan jelaskan."

Absurd : "Saya sedang mengharapkan seorang sahabat wanita yang bisa gila dan sejenis dengan saya."

Abstrak : "Sahabat? Atau lebih dibilang pendamping hidup?"

Absurd : "Saya butuh dari figur sahabat. Pendamping hidup selalu datang dengan kompromi. Brengsek bukan?"

Abstrak : "Brengsek? Belum tentu di mata Tuhan kamu adalah seorang brengsek."

Absurd : "Saya ingin keluar dari aturan normal persahabatan yang pernah ada. Dimana tidak ada jarak atau pembatas sekalipun. Benar-benar partner in crime yang siap dijadikan pusat ekspresi saya. Marah, sedih, senang... Jauh dari segan dan malu. Dan hal ini cuma saya dan dia yang tau karena universalnya mereka tidak akan mengerti. Cukup saya dan dia."

Abstrak : (Diam)


Absurd : "Saya butuh sahabat wanita yang begitulah pastinya bukan begitulah kiranya." 

Abstrak : "Jadi? Maksudnya kamu mengajak saya untuk menjadi 'teman' dalam konteks kalimat di atas tadi?"

Absurd : "Entah. Mungkin begitu tapi saya samar dan tidak tahu alasan mengapa saya segan dengan kamu."


Abstrak : "Saya belum tentu orang yang di kirim Tuhan untukmu. Jangan tergesa-gesa. Lawanlah waktu dengan sabar karena sebenarnya Tuhan memberi petunjuk, waktu yang menyampaikan, lalu logikamu  yang tinggal memilih."

Absurd : "Itulah Tuhan membiarkan saya terus mecoba menemukannya. Sampai saya tega menyampaikannya padamu."

Abstrak : "Kamu boleh berharap, bercita, bermimpi, hingga berdoa sedalamnya, namun...belum tentu Tuhan mau bersepakat denganmu."

Absurd : "Baiklah. Sepertinya saya sedang merasakan sebuah karya Tuhan yang berjudul...'Saya melarang kau bermimpi absurd!'. Hahaha!"

Abstrak : "Lebih pastinya ini karya yang kamu buat sendiri secara lebih absurd. Tuhan hanya memberi apa yang kau butuhkan, bukan yang kamu inginkan."

Absurd : (Tersenyum)

Abstrak : "Terima kasih. Akhirnya kamu kalah dalam tanda tanya ini. Semoga kamu mau lebih bertindak cerdas ke depannya. Amiin."

Absurd : "Tidak! Saya tidak kalah! Kamu tidak tahu apa yang saya pikirkan."

Abstrak : "Karena otak dan emosi saya, bukan otak dan emosi kamu."

Absurd : " Saya malu kamu harus tahu ini karena saya tetaplah saya. Terima kasih karena kamu menjunjung tinggi perbedaan. Jalan kamu indaaah sekali."

Abstrak : "Baguslah jika kamu merasa malu. Terima kasih karena kamu manusiawi sekali. Mari berlogika dengan 2 sisi. Itu lebih menenangkan."

Absurd : "Semoga Tuhan masih berkesempatan untuk kita. Mari berbincang lagi."

Abstrak : "Tidak heran mengapa di setiap bertambahnya keriput, para makhluk selalu berkata 'semoga  panjang umur & sehat selalu'."

Absurd : (Tersenyum)

4.6.11

SI KECIL & SANG RENTA

Helaan nafas itu kini buat si kecil termangu. Hijau kini menjadi ungu. Jangan menganggap busuk karena si coklat sedang renta. Sungguh dungu si kecil berpersepsi seperti itu. Haruskah bermain logika kembali tentang emosinya pada renta?

Pencipta ingin beri sesuatu namun waktu belum setuju. Maukah renta berseri di saat si kecil merintik basah di hadapan kasur lusuh itu? Terbata bukan maksud tergesa. Si kecil ingin berkata, namun organ tak bertulangnya kini mati. Hanya rintikan basah yang membanjiri situasi.

Ada apa ini? "Hey kecil! Ayo berkata, lekaslah sembuh dan semoga dipanjangkan umurnya...", bisik sisi kanan bicara. Tunduk dan segan pada renta. Maafkan sepertinya. Semoga dimengerti. Si kecil hanyalah si labil. Pendiam yang hanya bisa merintik.

Berlalu dan berlalu. Si kecil masih belum berani berkalimat. Renta akhirnya memberi doa dan pesan. Berkata, 'Semoga dan Amin'... Si kecil makin merintik. "Hey, Pencipta! Aku masih belum berani berkalimat..." Helaan udara itu kini makin mendalam, dalam sekali.

Bulatan si kecil kini hanya terlihat rintikan si renta. Syahdu dan sendu. Berseru dengan alunan air mata yang beratur rapuh. Kain lumpuh biru usap rintik sang renta. Si kecil kini kedipkan pupilnya. Yakinkan logika dua sisinya, inilah saatnya berkata.

"Lekas sembuhlah. Semoga kamu berumur panjang. Aku ingin di saat berhasil nanti, kamu berbagi kenangan dalam sebuah figura denganku..."

Renta pun meminta. Doakan dan terima kasih tidak terlupa pada si kecil. Mungkin memang mendayu tapi inilah yang dikatakan sejatinya sendu.

"Sir, semoga, amin dan terima kasih. Akan terus berulang. Ini permohonan tulus. Untuk aku dan renta yang sedang lumpuh pada selimut lusuh.."