29.1.15

Rindu Racun

Sampah menumpuk dalam raga. Yang dirindu khayal berbentuk kejujuran. Bersayap indah, mengkanvaskan imaji psikedelia. Bernyenyak dalam warna aurora semesta. Tak begitu banyak hasil menjadi penerbang yang kekurangan keanehan dan tak berbentuk.

Seperti dan seolah rindu mereka, para pembuat onar. Pandai berkata, cerdas berprosa. Meski topeng menumpuk rupa. Selalu mereka nikmati kesenjangan cacat yang dimiliki. Diri membatin, dan tawa selalu di akhir. Tanda bahagia sebagai pembuat kejahatan termanis.

Manusia lain tak perlu tahu pikirnya. Hanya mencandu karya berselimut jingga dan pelukis kalimat warna warni bumi. Sesampainya sampai mereka tahu ialah itu merupa racun yang rancu.

Terbahaklah saat dulu duduk di bawah pohon galaksi dan menonton mereka tunduk perlahan di atas racik biji kopi saat sephia menemui.

Terlalu lama di langit. Lupa menengok laut dan hutan. Apa kabar wahai Kejahatan?

20.1.15

BABI

Semoga dendamnya selalu menyertai keseharianmu. Membuatmu semakin jijik di hadapan dunia. Tidak akan ada firdaus tangga keberapapun yang akan terima kekejianmu. Kelak kelaminmu lekas membusuk tak diterima bumi. Disiksa semesta dengan seninya. Tak akan ada seni apapun yang mampu terima buruk rupamu. Meski kini dalam atas nama seni kamu berupaya agar diterima semua ekor manusia, tapi aku mampu melihat munafikmu. Dari arah mana pun. Hutan, laut, biru, bahkan sangkar yang pernah kamu pelihara pun akan rusak selama kamu hidup ataupun kelak mati.

Harapnya gelap selalu akan selimutimu. Bukan hanya lumpur yang sering kau jilati dan nikmati, kini batin diri semoga lekas tercipta agar kau tak diterima tanah dari lanskap manapun.

15.1.15

Kemarin dan Kelak

Mereka silih berucap.
Menyuarakan nada gundah.
Mereka saling meluap.
Membuang pilu dan resah.

Mereka bersilang tangan.
Berucap riang tentang angan.
Mereka menepuk bahu.
Tanda tahu saatnya maju.

Mereka berperasa.
Tak bicara namun merasa.
Mereka lanjut berjalan.
Saatnya berbenah masa depan.

8.1.15

Gugur

Ada mimpi yang belum tercapai. Sesaat menyadari pesakitan ini belum mencair. Beku tetap berkubang. Inginnya menyublim, namun hasrat tetap rapat.

Kalut-kalutnya di malam terang bulan, para penjahat janin merasa resah. Tuhan sedang tidak mendesahkan angin emasnya. Perempuan itu segera saja melelapkan vaginanya.

Keinginan membunuh sangat kuat. Sendiri dan sendirian saja. Tidak begitu bersahaja pada bagian logika. Namun perasa, jujur sakitnya.

Tokoh kedua mungkin terbahak di belakang layar maya. Menikmati perempuan dalam panggung kesendirian yang pada plot akhir menyimbahkan darah. Merahnya siap 'tuk dilahap tanah.

Ada ketidakrelaan dalam naskahnya. Lalu bagaimana?

Perempuan itu turun dari panggungnya. Dia berlari mengitari hutan tempat dimana nadinya mampu untuk menyayat sendiri tanpa pinta.

Sesaat itu, semesta hening, mengucap serapah padanya ketika perempuan itu berubah menjadi tiada bersama tanah. 

"Sembuhkan dulu egomu, baru kau akan mengerti bagaimana ikhlas lahir dan tulus tumbuh."