28.12.13

Ada Benci di Ruang Angkasa

Melahirkanmu sebuah penguatan dosa. Dimana sebut saja sampah. Menjamah nanah, menunggu jadi seonggok tanah. Hingga jadilah ladang tanpa senang tak beriang. Muram pun keram tenggelam dimati karam.

Sebelumnya adalah kisah di samudera. Kini, Mikail memberi rupa sebuah muka. Melingkar muka agar berdupa sampai remuk ini berduka. Kupakai saja untuk terbang sembari lepas berdendang nada minor remang. 

Mikail masih menatap agar tetap saling menghadap. Cium hasrat dan cumbu seolah tertusuk bambu, namun mampu membuat semesta rubuh. Jadinya hanya aku, Mikail dan abuyang berpijak menjadi debu. Kami bersama remuk melintasi kabut.

Sebelumnya adalah kisah atmosfera. Kini, kami dikelilingi anagram-anagram kerlip. Dimanapun berada, mereka ada. Lanjutnya ku melepas dahaga sejenak, lalu memojok terhenyak. Tersadar dari bodoh, tersangka tetap bodoh. Oh, begitulah rasa caci dari maki untuk diri. 

Mikail kini terasa pahit, genit dan rumit. Gundah, maka meludah pun terjadilah. Saat itulah aku tiada dalam ruang angkasa. 

26.12.13

Perempuan Bunuh Diri Jatuh dari Gravitasi

Tongkat bertelapak kembali memutarkan arahan utara ke timur., lalu selatan. Mundur namun terbalik. Seperti masa depan ingin menyapa kenangan. Memulai tulisan dengan melukiskan surealis dan vandalis dalam satu rupa. 
Bagian keduanya adalah bahwa tersadar kelamin ini berupa muka anarkis tanpa batang horizontal. Oh, ya ada sedikit sesal. Dikira berupa huruf 'T' tetap dengan tanpa garis horizon pula. Hanya cukup ber-ya-sudah, mau-apa. 

Nah, sekiranya sudah ditemukan apa, maka masehi memutarkan kepalanya. Bulu-bulu panjang ini mengkanvaskan bercak darah dari gumaman gravitasi. Ikut berbicara gravitasi karena semua berbicara gravitasi. Baiklah, aku segera mati. Hmm, menolak remaja biasa baca 'tiada'.

Ini bunuh diri? Dirasa mati merintih terdidih. 

Waalaikumsalam.

"Jika aku fiksi, kamu bisa jadi anti-gravitasi."

8.11.13

Prosa Mini Malaikat Pencatat Amal Baik

Sebuah kibasan sayap berlian melihatku bermalam dengan semu. Berbisik, bahwa gagal mencatat kebaikan mereka yang mengobral keburukan padaku. Dengan tampannya, mulailah tersenyum melihat keburukan mereka yang memburukkan diamnya aku. Dia berlontar, mungkin akan berubah menjadi malaikat pencatat amal buruk, jika aku berburuk rupa seperti keburukan mereka.

Sayap-sayap itu akhirnya menuliskan sebuah prosa mini untuk menghiburnya sendiri.

'Bibirmu tutup saja. Biarkan kecerdasan yang berbicara. Alam selalu bijak memilih siapa yang lebih pantas untuk berbaur bersama tanah terlebih dahulu.'

"Jangan pula lupakan cermin agar kamu paham seperti apa kamu ada di antara persamaan dan perbedaan."

Dan yang aku lihat, itu adalah Bulan yang sedang menuliskan 'Purnama'. Pertanda, sempurna jika aku mampu sebagai manusia yang menerimakan seluruh luar-dalam semesta.

7.11.13

Lalala

Bulu kepala kusut, setan menghasut.
Iblis melembut, rohani menyusut.
Dikurung tembaga, haus akan raga berdahaga. 
Suci sudah tak mendatangi, ragu memikat kembali.
Jurang menusuk rusuk. Yang-terpuruk-makin-memburuk.
Liar membuyar, lesu berkoar. 
Seiring gemintang bertebar, malam ke malam menerus nanar.

Yang diketahui berada dalam tumpukan buku, mengecil sebesar kutu.

26.9.13

Cantik Berbias Bangkai

Selama bangkai merasa hidup, selama masanya pula cantik akan digambarkan untuk mereka yang rela dibunuh kecantikan. Perlahan, nyaman, dan sentosa dalam sementara. Mati membunuh duri dari diri.

Di sebuah bias permata dia berkata pada kerut-kerut rupa....

"Hiduplah selama kamu hidup"

Dengan senang hati mereka mempercumakan.


"Sayangnya, kerutku lebih cantik dari makna cantik."

6.8.13

Sehelai Bahaya, Sepucuk Dosa

Melahirkanmu adalah setengah kasihan
Melarang keberadaan kematian lanjutan
Melahirkanmu adalah aku si penyusu
Daripada harus terbunuh 7 jam gemuruhmu

Dari jauh aku menghampiri yang terluka
Itu adalah rapuhnya kacamata, ternyata
Ku pegang lembut telingamu penuh sutra
Tatapku, tatapnya, akan membunuh nanti, katanya

Mengembalikan kebohongan adalah melahirkanmu
Mengawali kematian, memberkati kejujuran
Sehelai bahaya, sepucuk dosa adalah mendatangiku
Akulah cermin dirimu, sebaliknya akan membunuhmu 

Saat gadis, aku si ambisi sadis
Ibu melarangku seolah ambisi ialah dosa
Tahunya ambisi ialah selubung bahaya
Dan, aku hanya senyum dibalik bisa

5.8.13

Doa Pelacur

Dulunya pelacur berlipstik merah yang kini dalam gereja sedang berdoa. Harapnya lekas datang semoga, namun tak bisa. Meremas resah, mencampur gundah. Lahirlah lelah dalam sejenak sementara.

Yang kini merevolusikan seekor munafik dengan memperkosa jalang agar bersatu dan sejantung. Mendoakan sebuah amin memakai jubah hitam. Menyilangkan jari, mensketsakan pinta.

Tu(h)an, seruan biduan rendahkan doa di dada untuk melepas lipstik merah. Jadikanlah aku seutuhnya manusia seperti manusia lain yang memiliki kemanusiaan manusia. Maaf dan selesai. 

4.8.13

Kopi Pasteu

Sulit sekali ketika sedang kumuh berlumur lumpur, lalu menyeberangi dua jurang dengan batang. Aku berhati-hati. Sudah takut, tetap saja lirikanku ke bawah. Melihat arus menyapa lirih. Liriknya berwarna biru. Seolah akan membuat darahku pun lebam ungu.

Saat menulis, jalanku menuju tengah. Andai saja...dan aku masih berandai-andai. Bagaimana menjadi satu diri-dua jiwa. Seperti terbuat dari mesin fotokopi. Yang satu pahit. Yang satu pekat. Jadi, berdelusi ada dua. Inginya segera sampai ke pelupuk mata.

Dan (masih) saat aku menulis, jalanku sudah melewati tengah. Lirikanku masih dilirik arus biru. Dengan gagahnya, aku sombongkan ke-aku-anku. Aku yang melankoli, setengah likantropi. Seekor likantropi di saat musim semi. 

Kedua tangan ini masih sebagai penyeimbang. Mata ini sebagai proteksi. Hawa badanku sebagai pertanda, memang betul aku ialah bangkai berjalan. Sungguh, seharusnya melodi melankolis yang kutulis tak harus memiris batin. Sialan...

Masih berharap ada dua. Biar kedua diriku itu yang saling membantu. Bukan batang, biru, cuaca, suasana atau semesta. Jadi, aku tidak perlu terjatuh yang-kini-lebam-muram. Bangsat kau alam...

19.7.13

Koma Luna

Berawal biasa. Dari sisa-sisa menuju curam penuh curang. Dan tidak pernah ingin melihat ke bawah. Sosok lain ini selalu melihat ke atas pada satu titik besar melingkar. Penuh bintik seperti nenek sihir. Semenjak itu tidak berani kembali berdurja melalui kata.

Penuh bicara sembari bersila. Tidak mau mendekati satu-satu atau dua-dua di antara nyata dan makna. Pembodohan dalam sudut 45. Semakin kecil, semakin sempit. Semakin pula dalam ke-semakin-an. Di sini hanya banyak ranting dan akar saja. Bahkan sebentar lagi akan ada banyak warna merah. Mungkin.

Maka, diharuskan pulang karena tak akan setara lagi. Evolusi kebedebahan ini meski tanpa mantra tidak lagi mampu menjamin untuk kembali menjadi seekor orang. Terus saja koma ini menghelakan nafas. Nafas-nafas haus akan warna merah murni di bawah terang.

Mata-mata itu, selalu ada pengulangan. Pengulangan di balik batangan coklat rapuh menerawang di belakang punggung. Kelam, muram dan tentu curam seperti curang yang pernah mata-mata lakukan. Pernah, ratusan warna aluminium menembus setiap bagian elastisitas diri. Sebut saja pemutilasian masal.

Lalu, pura-puranya membangkai. Saat sepi, kembali berkeliling ke batang satu hingga ribuan batang lain. Tetap saja yang menyapa hanya redup beserta degup bergetar gugup. Hingga koma kembali menghampiri di bawah lantunan desah malam.

Beberapa abad lamanya batang-batang bergema. Berbisik agar bangun mencari titik di antara seru alam yang cemburu. Lelah terus diburu jadi kamuflase bersama etalase dibentuk nisan dan selalu dihadiahi mantra  setiap malam. Seolah harus tetap bertahan sendiri(an).

Bulan menjiwai jiwa-jiwa berirama durga
Di batu curam bermuram lebam
Menuliskan nama Luna sebagai tokoh drama
Di kiri menara dunia 
Masuk surga pun penyisaan sia-sia 
Di akar, ranting, dan batang sudah neraka
Kapan ada yang akan turun segera dari angkasa?
Akhiri kepemilikan raga non makna (masih koma)

15.7.13

Vagina

Vagina duduk di pojokan simetris misterius. Menunduk, merundukan gelap menjadi lebih gelap dari keremangan sebelumnya. Sunguhnya, keperawanan adalah kesendiriansebuah bagian individual non seksual.

Tidak ada gerakan erotis. Air terjun berintik itu bukanlah peluh hasil persenggamaan percintaan dari Vagina dan Orthogonal. Sepertinya peluh akan ketakutan dari redup-redup yang-sebenarnya-tidak-menemani-dirinya.

Lalu, sebuah gerakan menengadah. Bukan. Bukan sebuah pertanda bahwa ia akan bersyukur. Bukan pula sebuah doa untuk bercurah. Vagina mesih melihat sekelilingnya belum muncul sekerlip kentalan putih.

Kembali, Vagina menunduk dengan segala tanduk yang dimiliki. Hanya berserah di sudut 45 derajat dalam kubangan tanya, "Aku akan menjadi apa? Apa aku akan menjadi aku?"

Pengakhirannya, remang, redup dan gelap muncul memberi jawab penuh seru,
"Hidupmu hanya sebongkah semen yang tidak tercipta degup serta pikir. Warnamu abu dan kaku. Tebak siapa kamu? Hahaha."

11.7.13

Morfem Juli-Desember

Ini Desember di Juli. Berkabut salju di atas angkasa. Menanggah ke atas, memang sekali pun angin bertebaran di sana. Oksigen jauh tak nampak sesekali.

Kata-kata perbait kalimat sukar terjangkau ranah awam. Awan tak perlu mengerti. Awam tak perlu lari dari sastra yang mengairi imaji. Lambat-lamba prosa dicuri. Oleh pencuri yang mencuri arti

Kembali ke awan di Desember dalam Juli. Semua terasa abu. Sungai bintang tak nampak mewujudkan setengah auroranya. Di sini hanya tertulis tulisan yang menuliskan si penulis ialah monokrom jahat berkudis.

Sedikit saja rasi-rasi berkelip muncul. Penulis masih saja menanti Desember di Juli untuk berhenti. Kembali saja di Desember yang harusnya adalah Desember masehi sejati. Juli malang.

Di jendela, semua akan berlanjut. Telah diperiksa kembali. Ada awan, awam, Desember, Juli, monokrom, jendela, rasi, sungai, bintang, namun galaksi hilang. Entah.

Siapapun ialah kapanpun yang-sebenarnya-mampu menempatkan Desember dimanapun.

10.7.13

Sepia Obscura

Seekor putri malu adalah sebutan saat kelahiran. Pada spora-spora sang penyapa tamah, menunduk seolah terkantuk.Terjawab saja dengan auman batuk. 

Menginjak sedikit besar, menyerupai jamur. Meracuni kedua kelahiran. Melawan sistemasi yang tidak tersistem. Bukannya menyebar harum, malah menyebar delusi, ilusi dan halusinasi. Bahkan rasional dan irasional sekali pun.

Setengah remaja, banyak warna bersahaja. Menempeli kelopak begitu terangnya. Seorang dukun berkata, mereka hanya ada dua. Kuning dan biru darah. Apa antonim dari terkesima? Hanya datar beraroma.

Ketika bercita-cita menjadi seekor ibu, sobeklah keperawanan. Lalu di sekeliling mayoritasnya tanda tanya menerkam, menghujam dan mengancam. Belum beranilah mamakai tanda seru. Semua masih koma.

Bertransmigrasi ke pelosok kumpulan gedung-gedung kapital, sedikit bersuara dan mencari kumpulan mamalia sedih. Hanya mendengarkan ceracauan mereka, dan mereka tertidur saat mendengarkan ceracauan sendiri.

Masih di angka 2 sesaat waktu balik berputar, dan lalu berpetulang dengan alam. Sangat liar sampai membuyar. Melupakan angkasa, dan samudera. Tidak mengenali sungguhnya telah bersatu dengan tanah menjadi nanah.

Lalu beberapa detik lalu sadar; sendiri dalam kesendirian yang menyendiri sebagai pendiri diri sendiri. Menengok 120 derajat ternyata makna kemarin, kemarinnya lagi dan kemarin lamanya lagi adalah ke-aku-an yang kaku.

Sekarang? Siapa? Cobalah tebak saat 'kau' diputar balikan menjadi 'aku'. Adakah 'kita' maupun 'kami' atau bahkan 'kamu'? Mampukah ada jawab dari tanya menjadi titik, sehingga tak perlu ada koma atau jeda?

9.7.13

Rasa Es Krim di Luar Angkasa

Mint Minus 0 Celcius
"Seperti apa bila titit berbulu dibumbui bumbu msg campur tai banteng yang membuat delusi seolah ialah Astronot no. 5 melandas menuju London sisi Pluto. Oh hidup..."

Strawberry Muda
"Tidak! Tidak seperti bila sebuah morfem bercampur ilusi lalu menyerap delusi dan merevolusikan halusinasi di sisi galaksi Plio."

Coklat Pahit
"Nah, jikalau Astronot no. 5 belum pulang mengucapkan salam karena kekurangan majas 'warohmatulohi wabarokatuh', apakah kalian menyimpan majas itu di etalase remang?"

Vanilla Hambar
"Ah musik apa ini? Perpaduang langit dan era 1920. Tempat ketika kulit astronot no. 5 masih hitam hingga kini. Masih berjemur jamur di ruang ilusi. Kisahnya memanjang. Sepanjang jembut berbulu serigala. Ah dasar acid!"

Kayu Manis
"GERAM! Aumannya seperti adegan The Grey menguliti kulitnya untuk memelihara kulit serigala pemarah. Ah, segala hati tidak ada yang murah kecuali pemurah kasih bagi segala penyayang."

Anggur Merah
"Hey Astronot kamu masih dimana? Tololnya kamu masih mengecup lolipop. The Fugs sedang berdzikir! Bagaimana ini? Kamu masih berilusi tentang makna 'nothing'?"

Anggur Biru
"Ayolah kembalikan titit membara menjadi sempurna kembali sebelum negara Api menyerang. Berikan bala bantuan untuk negara Udara, Air, dan Pohon. Lekas landas semri bernafas wahai astronot!"

Anggur Hijau
"!@#$%^&*())(&^%~!@#$%^&* : Bahasa Alien yang sebenarnya alien itu ada di dalam kantung kemihmu sendiri wahai manusia tolol akan ketololannya!"

Kismis Busuk
"Astronot masih belum tersadar juga nkarena sedang menabung dosa sebelum berpuasa di angkasa raya. Asa dan putus belum bersatu karena belum bertemu kamus."

Keju Oranye
"Apa-apaan ini? Sungguh tidak menyenang jika di bawah kain kafan bertekstur kekentalan sperma dalam pencapaian persentase 80% ketidakmungkinan akan lengket tidak akan berbentur dengan hasrat seksualitas."

Madu Asin
"Bicarakan aku pada aku yang sedang mengaku dengan paku-paku lusuh tak laku. Diamlah Vega! Diam saja pada rasi buruk rupa dengan Tico!"

Teh Hijau
"Apalagi ini kosmik? Tak begitu mengerti kosmik! Biar saja tralala-trilili dalam televisi. Astronot no. 5 masih angkuh melihat ke bawah bumi. Baca sekali lagi pembicaraan ini."

Lavender Layu
"Ayo! Kau mau apa? Hah? Masih berwarna ungu agar dicap sebagai supernova bologna dari India? India bukan negara! Negara itulah populasi berpolusi! Cih!"

Lemon Matang
"Hiatus: Karena sungguhnya pegasus sudah menjemputku sebelum pukul titik di antara 0 dan koma menggantikan titik sebagai tanda kutip. Mengerti?"

Jeruk Nipis
"Harusnya belum turun ke bumi karena di luar angkasa masih renyah. Namun serigala baik hati sedang melolong minta tolong di kolong jembatan bolong."

Apel Saturnus
"Masih ada musik disko. Padahal disko tidak diakui orbit Tuur. Payah kau! Diam saja sambil berguling di rasi bambu dan menghitamkan bawah mata lalu berevolusi menjadi makhluk gendut super tanpa celana dalam merah di luar."

Bambu Chengdu
"Sudah angka 2 dan menuju huruf 1. Tebaklah pada kilogram ke berapa Astronot no. 5 akan turun ke hutan dan menjadi mamalia yang beradu daging tak bertulang dengan Serigala baik hati?"



Kami dari segala rasa, 
mengucapkan selamat bercinta di luar semesta 
untuk Astronot no. 5 dan Serigala baik hati. 
Amin.

8.7.13

Oreo, Jeruk dan Coklat

Oreo sepucuk vanila kental dingin. Berguna unuk melumerkan bara. Pait hitam bulir krakernya menggemaskan remasan larva. Setiap gigit dan jilatan rasanya ada sebuah kelopak tangan yang terbuka. Namanya diberi harap.

Jeruk apapun berwarna oranye campur hijau. Semua manusia membutuhkan asam meski asam memasamkan raut. Terkadang selain dengan kerendahan hati, asam lawan saja dengan asam. Jangan lupa secarik senyum kecut tulus diakhir tegukan bantal bulirnya.

Setelah semua dicicip, larutkan saja ke setiap gusi. Tempelkan pada butir-butir tulang minimu itu. Lalu tertawalah selebar kau yang dimampu. Lihat di bawah panggungmu. Mereka tertawa dan bertepuk tangan berkat coklat yang kau selipkan manisnya di hidupmu.

Ini obatku dan racunku. Sekurangnya, selebihnya dan secukupnya, cukup aku saja yang menyajikannya. Tidak perlu kamu ikuti sajianku. Tolol!

7.7.13

KETOMBE

Lembaran-lembaran pohon pinus sudah dibuat. Pada waktu yang bertentangan dan menentang dirinya, ada seseorang yang sedang berpulang. Lembar-lembar itu seolah sudah percuma.Melayu, mendungu. 

Dia tertidur lelap sekali. Banyak warna putih dimana-mana. Dan ada satu pucat kusut bertebaran di bawah genteng leher. Merengek minta dikenang. Mungin karena warna sephia yang membuat mereka sombong ingin bermanja ria ingin dikenang.

Lembaran pun sedikit menguning saat ikut menjadi saksi menunggu ajal Dia. Hanya saja mereka tidak tahu apakah Dia sudah ditengguk ajal atau masih menunggu dibalik lelapya. Melihat selimut jatuh cinta dengan tubuh Dia, rasanya selimut terlihat tanggung hanya menutup setengah badannya. Sudahi saja menjadi seluruhnya. Geram dan ikhlas.

Setumpuk pucatan sephia meregang saat terelus setiap helai. Iya sebenarnya telah merasa dewasa karena sudah mampu memilih sesuatu. Iya sebenarnya sudah siap jika akhir kali ini adalah setumpuk pucatan sephi saja yang terakhir yang akan dikenang. Toh Dia sudah tak cukup mampu untuk tetap merawat tumpukan-tumpukan itu.

Makna ikhlas itu Iya katakan pada Dia,
"Kamu pergi saja. Lembar-lembar pinus ini akan aku sebar seperti kamu menyebarkan tumpukan sephia saat kita tidur bersama. Bila kamu ingin menyudahi untuk tidak menebarkan lagi pun tak apa. Toh, Tuhan masih dan tetap tersenyum. Aku sudah berkecukupan menabung sephia, menumpuk ketombe dan menebang pohon. Kini saatnya aku bersih-bersih."

Senyum dan Dia memang telah berpergian satu jam sebelum Iya berkata. Tidak ada bulir dari kisah ini. Hanya setumpuk ketombe yang tertinggal di bantal.

6.7.13

Selamat! Kalian adalah Seniman!

Layar pernah berkata,
"Kamu akan berevolusi dewasa saat dimana kamu tahu ingin menjadi apa kelak."

Lalu, Rabun berkata pula,
"Hari Minggu lekaslah pulang. Puji-pujian merindukanmu. Sudah tahu beberapa abad lalu kau menabung dosa. Kini sebaiknya berbenah."

Sesaat kemudian, Tebal ikut menyimak lalu melantunkan kata tak bernada,
"Beri aku bolpoin di bulan salju nanti. Pertanda agar Amin-mu untuk kesehatanku terkabul."

Nah, Kumis berbalik dari Tebal. Dia menuduhkan kerumitan yang membuat Nipis tertawa,
"Ah, Nipis... Usia hanya angka. Tidak penting. Apa yang lebih hebat dari ini: preman yang menyerah pada rambut putih bapaknya?"

Nipis tertidur di kulkas dan kulkas adalah saksi saat Nipis tertawa. Menyelam hasrat dunia atas pemaknaan ke-percuma-an dan ke-tidakpeduli-an. Mungkin sebentar lagi Nipis akan bangun. Oh, dan ternyata benar... Hingga berakhir dalam kebekuan. Padahal sebenarnya Nipis masih belajar.

"Ini tahun kesekian-puluh kamu hidup dan nyaris semua hal remeh sudah tidak lagi pertama; hal remeh pernah sangat istimewa.", ujar Kumis.

Nipis masih tertidur di kulkas. Malah sekarang lebih hangat dengan prosa sederhana dari Kumis. Padahal Kumis hanya berdoa dan ingin membuat Nipis senang. Namun nyatanya Nipis memang senang. Rautan keriput saja yang senang bermonolog lain di hadapan Kumis.

"Tetapi kesederhanaan pernah sangat luar biasa. Itu adalah istilah pertama yang kamu pahami dan kamu pernah mengingat namamu sendiri. Nama-nama manusia lain datang dan pergi. Kamu seperti jembatan yang dilalui banyak nama; mengantar satu nama bertemu nama lain." ucap Kumis si lincah.

Ya, Nipis terbangun dan alhasil masih mengumpul 13 nyawa untuk lekas bergegas. Dia coba mengingat yang tidak diamnesiakan dirinya sendiri.

"Detail. Memori. Remeh-temeh. Hal yang tidak perlu susah-susah dihitung pakai kalkulator. Istilah yang tidak perlu kamus." Kumis tetap berucap dan menyapu debu dari rambut marun Nipis.

Entah ada berapa jumlah huruf dalam satu kata lalu beribu kalimat. Bukan hanya seolah, namun membetuk pasti, bahwa sebuah kasih dan penting itu adalah doa. Nipis meyakini itu dan meyakini Kumis sebagai manusia biasa dengan kepemilikan jantung yang luar biasa.

"Ada banyak amin mengapung di udara. Tangkap satu saja. Sebab semua doa seharusnya baik. Amin." doa Kumis tercampur tulus. Semoga tetap mempertahankan kebersihan.

Nipis keluar dari kulkas. Meneriakan sesuatu yang buat Kumis, bahkan harapnya Rabun dan Tebal pun senang, tapi pasti senang karena Nipis kini sudah cukup matang untuk belajar tidak cepat peduli dan tidak mudah mempelajari nilai setiap manusia dari abjad matematika.

"Semoga dan amin adalah prosa mini sejoli di antara lahir, pengulangan dan mati. Mengerti, kini sebaiknya menikmati karena kita adalah sebagian seniman yang ingin mewujudkan karya aminnya semampu mungkin." desah Nipis pada jantung Kumis.

Kumis mencium Nipis selama mungkin dengan kecepatan cahaya. Apa yang terjadi? Amin.


5 Juli 1991 - 5 Juli 2013

28.5.13

APAKAH

S A T U
Kita sepakat bahwa kita berbeda.
Aku bukan penyair atau tukang syair keliling yang menggodamu melalui kata.
Kau bukan penonton atau tukang monoton yang menderu penuh gebu melewati bicara.
Seolah aku dan kau berbeda bahwasanya kita memang beda.
Aku berlubang dan kau berbatang.

D U A
Bukan, bukan sebenar-benarnya itu.
Padahal kita mencinta di atas ruh setelah firdus ketujuh dan dunia kesembilan.
Sungguh, sesungguhnya aku hanya menunggu.
Dan kau belai membelai sembari berkata penuh dengan degup.

T I G A
Jawaban harapan itu hanya ada di dalam letusan setelah mati.
Membangunkan ketika sudah waktu tahunya kapan dan berapa jumlah tabungan larva.
Larva-larva penuh oranyeu yang memanaskan bara di antara, sedang dan saat kita menjadi kita.

E M P A T
Berdua akan biasa karena terbiasa.
Masih tetap biasa, terlelap membenahi kayu bakar di lembah suram.
Kini tetap kini sampai ada saat nanti.
Tentu saat kita tahu bahwa kita sudah ada di saat nanti.

L I M A
Tetapi kau sadar dan aku tetap termangu.
Ini adalah kini.
Dan aku hanya mempermalu diri.
Sungguh dengan kesungguhan, sesungguhnya kini ialah saat ini yang terbentuk dari masa dan lini.

E N A M
Ini puisi dada dan seolah antonim dari realita monalisa dengan kumis serta cerutunya.
Apakah kau titik-titik dan aku koma?
Aku hanya menulis dan kau hanya menonton.
Serta dengan kesediaan semesta terjadilah kita yang terdiam mendiami diam.

T U J U H
Kita terlalu berbeda.
Karena aku beda dan kau beda.
Akan sampai menyatu dengan belatung.
Itulah pemisah dari benang merah menjadi bendera kuning.
Meresapi tanah hingga menjadi udara.
Sesampainya berdebu, karena menjadi sama.
Sesampainya menggebu karena berbeda, tetap saja kita adalah cinta.

Renung dan dengung. - ASTRONOUSA

27.5.13

Jangan Bunuh Rahim Saya

"Merah."
Deras, berselancar dalam getar rasa gemetar. Warna merah ialah yang kamu pilih untuk menyakiti Ibumu. Namun tetap diketahui itulah pemberian setimpal Pencipta. Inginnya bukan hanya kau, Ibumu pun takdirnya akan berperasa sakit. Dan masih tetap terjadi di pojokan remang dengan percikan nada-nada gemericik.

"Maaf."
Kematianmu tidak akan memisahkan keputusan temali yang sudah diputuskan atas pemilihan. Dikarenakan itu adalah pilihan terpilih. Sesampai senandung air mata bergumam di pojokan nada-nada percik berair, Ibumu tetap mengasihi dan menunggu kembali pulang.

"Mengudara."
Ayahmu berbicara bahwa kau lahir di antara tiga dimana puncak-puncaknya bulan berlomba dengan segala semesta bahwa dirinya yang teranggun di harimu. Ayahmu berbicara, bahwa kau sedang bermain di sana. Tempat dimana ruh belum menyajikan kemauan untuk menghadiri Ibumu di angka tujuh. Hingga Ayahmu berbicara kembali bahwa bersabarlah. Tetap bermain di udara. Biarkan Ayah dan Ibumu menyiapkan sebuah 'nanti'.

"Tunggu kami."
Ibumu takut dalam ketakutan ditakuti dirimu. 7 hari kelahiran, kematian dan pertungguan kebangkitan, Ibumu sungguh menjadi pesakitan atas kesakitannya. Itu bukan pembalasan, hanya saja timbangan telah mengukur apa yang harus dihadiahi untuknya. Sebuah rahim baru bernanah darah.


Fiksi setelah titik. - ASTRONOUSA

18.5.13

HARI AGRARIA

Berpegangan tangan dalam seluruh semesta gelap. Cahaya masih jauh disampai. Mereka memetik matahari dan membentuk burung kertas serta pepohonan dalam pohon. Mereka terus berjalan saat jalanan berbatuan,  maupun statis memakai saja. 

Memang belum lelah karena bersama, dipercaya Semoga dan Amin ialah kekuatan melebihi Bulan dan anak-anak antariksanya. Sama seperti auman Serigala Baik Hati, tetap saja Semoga dan Amin masih mengiringi. Atau Ratu Bambu yang menjelma menjadi Hitam-Putih tertidur membanjiri ranjang, tetap saja Semoga dan Amin mengkesinambungkan mereka-yang-masih-tetap-ingin-berjalan.

Kerikil-kerikil berdarah kerap membasahi pelupuk mata berdua. Masih berjalan, namun terkadang sepi di lorong gelap. Cahaya tetap saja bersahaja yang masih menunggu mereka untuk mengabulkan Amin-nya. Tertulislah dalam hatinya masing-masing, "Semoga prosesnya selamat hingga sampai tujuan."

Dan, hingga saat ini ialah hari salah satu untuk merayakan dengan sederhana. Tanpa figura mesra berdua. Hanya sebuah hadiah Semoga dan Amin membaluti di setiap rasa merah jambu yang ditanam berdua, tentu setiap waktunya. Ada tabungan rindu, ada kumpulan Amin dan Semoga tetap menjadi pemasukan tepat di antara Langit dan Laut, yakni Hutan yang dijunjung sebagai Rumah.

Hari ini diingat saat pepohonan bersejuk ria bekerja sama dengan udara meniupkan tenang yang sama-sama bersama untuk meromansakan kelahiran di Sabtu Dini Hari. Ini tahun ke 22 yang masih hidup. Hari ini ialah hari dimana segala tanaman tersenyum merayakan kesuburannya yang harapnya terus semakin subur mengabulkan Amin-nya. Semoga, Amin.


Selamat Mengulang Muda
Selamat Hari Agraria ke 22

Bandung,
Menabung Rindu
Mengumpul Semoga
Mengabul Amin

Dzikry Puji Gustina - Astronaut No. 5 - Panda

6.4.13

Selamat Tinggal, vertdummpiada

Selamat Tinggal, vertdummpiada...
Kembalilah pada bapakmu. Dia menagih rindu. Aku tidak sama sekali karena tidak pernah merasa berhutang apa pun dan tidak mau apalagi ingin dan berambisi. Tidak sama sekali. Biarkan saja dia terus memancing di kolam. Menyakiti karena tersakiti. Aku percaya waktu adlaah teman kita, semua dan kami. Maka, biarkan saja waktu memberi jawab tanpa pamrih. Entah memberi di kolam itu atau di udara yang dia agungkan. 

Kalian tidak perlu menghibur. Dirinya masih menggambarkanku dari A - Z. Aku lelah dengan gambar lusuhnya. Itu bukan cerminan dariku. Sebaiknya bakar, tapi apa daya, kini aku kosong. Tetap saja kalian tersenyum pada bapakmu. Dia yang melahirkan kalian, bukan aku. Aku hanya seekor jahat yang memakai kalian. Entah, tidak bermaksud membuang, tapi aku adalah jahat, dan sebaiknya kalian berpulang pada yang-katanya-baik-pada-jalan benar.

Baik-baik ya, vertdummpiada...
Aku telah menginstal semua. Yang tersimpan sampai berdebu hanya ingatan masa kecil saja. Maaf akan melupa, karena kalian sungguhnya sebagian bapakmu. Lekas terbanglah. Bapakmu masih menunggu untuk kembali, tapi jendela ini sudah tertutup sangat rapat dan kuat. Maafkan sekali lagi atas apa pun yang perlu diucap dan dirasa. Kalian menggambarkanku lebih baik daripada bapakmu. Terima kasih, Saya (pernah) sayang Kalian...

"Jangan biarkan dia  mengejarku lagi. Aku sudah pergi melihat Bumi, bersenggama di Hutan dan berpegangan dengan Laut. Aku adalah baru. Bapakmu adalah usang. Kalian? Hanya seberkas simbolik."



05 April 2013 Jumat 10 malam menuju 06 April 2013 Sabtu dini hari, Astronousa lahir.

2.4.13

Indi-Satu-Vidu

Jangan sebut haram, Mama, 
Televisi sahabatku. Monokromatiknya membiaskan pelangi dari luar yang hanya didapat darinya. Pelangi monitorik dia sungguh lebih mejikuhibiniu daripada jeritan kalangan pemain tanah dan bulu-bulu boneka. Kamu tidak suka? Aku suka. Biar.

Keras, Sepatu dan Ember terlempar,
Disentakmu binatang-binatang riang sembari berlalu lalang dari nada-nada tak bertulang. Sebab-akibat, aku bahagia yang kekinianlah membentuk seorang prajurit. Bukan memperjuangkan negara namun keluarga. Ayah tak perlu tahu, Ibu tak harus sering mengadu, singkatnya ortu bandingkan saja tiga di antara satu jadikan saja utuh.

Anjing-Goblog itu bertangis di kamar gelap, Ma.
Berada di angka 28 itu membuat perang terasa renyah. Basah dan lemah dimana-mana. Cacian yang-katanya-aku-non-cerdik mengiyakan untuk berkata iya selama 2 jam. Lamanya itu lama sekali. Itu terjadi saat angka 14 menjadi-jadi. Setelahnya? Kamu menawarkan nasi dan aku menawarkan basi.

Perawan bangkai
Mama tidak tahu. Bahkan lawan jenisnya pun tidak tahu. Mungkin ingin tahu. Tapi tidak ada pengetahuan yang membuat kalian tahu bahwa sebenarnya mungkin Mama dan isi selangkangan lain sudah tahu. Maafkan, karena itu sudah 16.

Sekarang, Kurus.
"Hey, tolol! Kau baru sadar keriput dan tulang belulang itu telah menjamah seekor nenek yang selalu memanjatkan tangga-tangga nada harap? Kemana saja kau? Tidak lelahnya kau berjelajah dan berselancar. Cukupkan saja. Hutan pun sudah layu karena kau hanya berlari bukan memberi."

Ah! dan titik-titik pembangunan.
Masih sendirian saja. Bermain beruang. Berceloteh panda. Liciknya, hanya sendiri. Sendirian itu ketika di saat seekor Gadis bernama tengah Tolol menangisi nenek-nenek yang terlalu manis. Manisnya sangat menyakitkan. Khawatir saja yang disuguhi. Masih selalu berpikir sendiri. 

Tidak, ini bukan kasihan. 
Karena menjadi sendiri itu hebat. Ada sendiri lain yang menemani. Siapa? Kamu yang pertama tahu, saat Gadis menjadi dulu dan hinggap pada Gadis saat kini.


31.3.13

DEAR, DAPUR

Dulu, duduk di Dapur. Sepulang bekerja, otak berlumur rumus-rumus duniawi. Lelah sampai memasak terigu keriting beracun bertangan polos belum berlumur nanah kelamin untuk menjamah.

Dulu, dekat jendela di Dapur. Banyak sekali makhluk-makhluk basah nokturnal. Menyapa segala puji-pujian bergemericik. Menyatu, berbasah ria mengayunkan lambaian sahabat. Mungkin ialah pengganti hipnotik psikedelik televisi. Sayang, waktu masih berjalan, saat itu.

Dulu, di Dapur hanya ada Dapur. Dia melihat, hanya mampu merekam. Matanya bisu menyaksikan sendiri dicintai kesendirian. Yang ditunggu hanyalah Bersama. Sayangnya, pun, waktu masih berjalan.

Dulu, di Dapur... Dapur menimang sampai tidur. Masih melihat, masih merekam, masih bisu dan tetap mewadahi. Itu saja, karena waktu masih berjalan. Dan, sayang, waktu (memang) masih berjalan.

Kini, sayangnya, waktu menyadarkan. 
Dulu, Dapur dan Perawan sangat menyedihkan.

V E R T

25.3.13

Langit, Pinus Berudara, Laut

Laut: "Aku astaga-apa-ini-namanya."

Langit: "Aku dan Kamu buat kisah."

Laut: "Kisah Kami."

Langit: "Kita berkisah."

Laut: "Kisah kita diawali perpisahan."

Langit: "Perpisahan mempertemukan kami."

Laut: "Satu pintu tertutup, pintu lain terbuka."

Langit: "Jadilah dua dalam satu pintu sama."

Laut: "Pintu itu menuntun kami menuju lorong, ujungnya gelap dan ketika kami melihat ke belakang, lebih gelap, tapi kami punya cahaya. Cukup untuk kami berdua; saya bisa melihat wajah kamu dengan jelas pun sebaliknya. Jangan redup."

Langit: "Jadi, kami adalah cahaya untuk kita. Biarkan kini berproses untuk menjadi nanti hingga lahir pasti."

Laut: "Jadi, jalan ke depan. Titik berangkat sudah tidak mungkin didatangi lagi, sementara 'pasti' masih nanti, sama gelap. Tetap beriring akan lebih mudah, jauh lebih mudah. Saling beri cahaya. Jangan redup."

Langit: "Karena Semoga dan Amin ialah perantara; saya percaya; kamu setengah; saya setengah."

Laut: "Saya percaya kamu setengah saya, sejauh ini, sampai saat ini. Saya temukan kamu, kamu temukan saya. Dan benar, kamu mebawa perbuhan besar dalam hidup saya."

Langit: "Dari titik menjadi garis, maka terukir lukis. Saya di atas, kamu di sana, bertemulah kita di antara pinus berudara."

Laut: "Kamu sedang peluk saya dari belakang ya? Merinding."

Langit: "Semoga dan Amin."


Kami adalah Kita. 
Kita berasal Dua. 
Satu sebagi setengah. 
Firdausnya di Pinus berudara.
V E R T

24.3.13

Keju Matang Sebagi Kraker Hitam

AWALAN.
Ada yang berkata, "Saya kejukan kamu!" Ah padahal sejuk saja maknanya. Hingga balada di antara Ki dan Ta saja belum berhenti untuk menjadi pasti. Sialnya, tidak pernah mau mengerti tapi mengharuskan mengerti karena tanya masih menjadi tanda. Tidak perlu, cukup dirasa menjadi perasa.

Lalu lalang bidang ilalang belum saja menghilang dan Ka beserta Mi masih saja menghirup kraker hitam ini bersama. Sebuah rancangan visi dan misi dibentangkan dalam satu meja klasik. Berhimpunan untuk mencari simpul. Tetapi apalah munafik sampi picik mengapit sesempit kopi pahit. Dua tetap saja tidak beringin untuk tahu dan mempedulikan peduli.


Sebundar umpatan, sampai keju dan kraker sungguh memetik jambu semerah merdu, mungkin. Menyeruput manis di antara asinan renyah sampai Semoga dan Amin menjadi sarapan 24 dalam 7, harapnya lama menjadi selama. Kenyang dan sungguh cukup. Dipastikan untuk menjalani pasti namun memang belum pasti. Ah, peduli durga, Dua tak peduli nanti, hanya kini. Sebagian sebagai setengah sebagi.

Yassalam, Alif dan Gusti. Kalian meraja Antariksa, Hutan Jalang dan Samudera.
V E R T

13.3.13

Karena yang Sudah Mati Cepat Larinya

Kaku bergagu gagap menggagu yang termangu. Sebutnya kematian dini. Dalam monokrom garis-garis sepanjang lebaran terpanjang tanpa hent, nol mudah dicari. Di belakang punggung padahal bersemayamnya. Antonim tersadar, sebenarnya ya. Nol adalah refleksi hitam.

Tari-tarian semilir oksigen bersimetris. Pandang titik sudah tak mampu mempertahankan sang penahan dalam pertahanan yang pantas dipertahankan.

"Aku memilih mati dalam kebebasan berbatas. Ini batasku, jangan berseru mau pun berkutip."

Masih melentikkan jari. Berkedip dalam pikir. Berlari menuju pelarian mencari nol yang melangkah dalam gerak lari-larian. Dalm remang sembari bermonokrom ria.

"Sampai mana akan berhinggap, secepat itu pula aku sendu atau pun sendiri."

Laju gemuruh rongga-rongga rusuk merajut jantung berdegup untuk hidup. Masih dalam tanya bertanda.
"Aku akan selalu menghisap merah lalu memerah jambukan adanya."

"Karena terpujilah, setelah nol akan ada dua untuk mengevolusikan satu", ucap Herr


Akhir berada dimana-mana. Buta saja yang menghalangi.

26.2.13

Bias Fisika - Sastra

Sembari angkat tangan ialah bukan penanda menyerah yang sedang tersenyum dalam lingkup bipolar hingga semalam terus berteman dengan Tolol. Kicauan laut menutup yang dibias oleh cahaya, kata dan asa. Liarnya bergelembong namun bukan ombak dalam riasan cahaya kaca-kaca bening cair, saya berprosa. Hanya seniman fisika yang mampu mengolah rumus-rumus etalase seolah kamuflase.


Securah paragraf, 

Seniman Fisika Sastra 
dari antariksa 
untuk pelaku semesta.
 V E R T

Aqua Pastel

Semesta membelah tangannya. Menggenggam yang tak perlu dijadikan dan terjadi. Jika sekeliling alat lukisnya hanya sepercik tinta dan cat warna serupa setengah rupa. Sampai-sampai rotasi berbalik dalam labirin super berkumis segi empat. Melipat sembari terkaku mengumpat hingga ceceran mayat-mayat dilayat para penyayat.

Bilamana monokrom dalam putaran kaya raya penuh biasan cahaya timur dan jingga barat, sampai biru berbusa memunculkan kerikilan pastel coklat. Aura asin sebutan puji-puji baginya. Sebagai sebagian bahwa dia berdesis dan mendesir. Atas nama Tuan Lembayung maka jadilah yang dijadikan sebagai duyung yang mendayung didekap ungu layung.

Ketika berdiri mendengar lagu dari Nona Berlian, visualisasi ekstasi berevolusi sebuah Aqua dan Sephia. Namun setelah terjamah dengan diterjemahkan ludahan nanah prosa, disketsakan sebuah estetik Biru, eksotik Pastel, merona Jambu dan satulah kepingan-kepingan bebatuan berpanel.

Hai lanskap pesisir
Siksalah dua insan bertafsir kashmir
Dari busa hingga sentosa
Telanjang raga, dua jiwa menuju semesta

V E R T

10.2.13

Apa

Bingung menuliskan apa. Lupa yang akan ditulis apa. Ini artinya tidak berupa kata-kata belaka. Sepertinya akan terlahir konspirasi perkumpulan anak-anak kalimat dari hutan hujan sastra belantara.

Kata lupa. Kata apa.

1.2.13

No. 5

Bisa dikatakan adalah seorang Hijau yang dipupuk dalam bumi. Menetas saat semua bertepuk tangan karena seduhan rindang dirinya yang teduh. Seiring embunnya mengembunkan jantung, maa semesta berseri.

Bisa disebutkan pula wanita dalam era monokrom yang membuat sebuah gebrakan gerbang idealis dengan kisah ironis. Dulu sistematis berkata wanita hanya perlu mengangkakng, maka dengan rajutan kain-kain lusuh dia buat wanita mampu berjalan kekar.

Bisa disenangi untuk berselancar di galaksi-inter sebagai imaji. Di tiap 10 malam dia bereinkarnasi. Telusuri jagat raya, perkosa hati dicumbu antariksa. Masih dengan misi bertemu Pohon Galaksi. Inginnya perkosa kata, senggama prosa hingga bersetubuh sastra di lanskap angkasa.

Tertanda,
Nomor Lima


V E R T

29.1.13

Ditempel Koloni Ulat Daun

Fitria Zackia dengan Hijau dari 1999
Sayang, Fitria Zackia sudah ijab kabul
Kalian semua selalu Ounyonyo di dunia Piada
Allegra, Zy, Ryan a.k.a 3 Idiots
Diapit oleh 2 Novi
5 Juli 2012 berkisah dengan Geng Ternate
Semester 1 disebuah Kampus Unyu
Semester 3 antara Anggis
Semester 3 menuju 4 dengan Hijabers
Semester 5 dan 6 dan 7 dan 8 alkisah bereratan dengan MM
Theza Adhe berkelamin ganda


Rindu.

28.1.13

Rasio - Rasional - Irasional - Metarasional

Banyak di antara milyaran kata dengan berolah argumen yang tak mampu terjamah dengan olah pemikiran setiap personal. Tdak tahu apa yang harus dilontarkan untuk melontarkan pola pikir ini dalam bentukan halus. Seperti terlontarnya sebuah daun berembun. Berkeringatlah semua titik adu dengan gumaman bertopeng Vendeta. Mungkin seolah senyum tapi dibalik itu apakah ada sosok 
tanah berakal?

Seolah masuk diakal dengan pemahaman akan dogma dan tentang pengetahuan alam beradu untuk saling sangkal hingga sikap dangkal berujar sembari mengangkang. Peliknya seolah teori kakek moyang masih berkomat-kamit mengucap doktrin. Sesampainya pada lubang milenium, mereka anti thesis. Menghunuskan logika sebagai superior. Mengevolusikan dua kutub lawanan antara akal dan ilmu inginnya untuk menteror.

Benar-benar tidak pernah puas dengan kelirunya labirin-labirin yang berkoar bebas di antara batas. Benar-benar ingin sempurna di antara batas yang tak bebas. Sialnya lingkarnya ilmu dan tabu berirama untuk dikeluarkan saja diluar mampunya kutub kiri dan kutub kanan. Sinis termanis untuk makhluk tanah berkacamata ini sesegera mungkin untuk mati. Berisitirahat di bawah gulita selimut beranak belatung.

Sudahi saja pemikiran berakal yang terkadang diluar akal dengan non-optimistis batasan kemampuan usus kepala. Hendaknya melepaskan dua lensa. Meniupkan sepia dengan semu jingga. Menanti bulan tak kunjung berujung untuk mengunjungi penjunjung antariksa yang nihil di ujung. Ketikan-ketikan dari tiap ketiak jari ini setelahnya akan tutupkan layar dan tangkai kaca dari pelupuk mata.


Siang merajalela penuh rela.
Saya masih berpikir di lini masa.
Tanda tanya, bagaimana dengan kamu sepia?
Berakalkah inginmu saya kini dan seterusnya?

24.1.13

Mengerang Remang

Rotasi masa selayaknya landak yang merubah jarum-jarum dupa dalam rupa durga. Nona tampak halus tak bertapak dengan renungan bekas gulananya. Menggundahkan kegundahan yang selalu digundahkan. Pengulangan begitu dengan pengulangan lagi. 

Nona mengurungkan diri dalam kurungan dua sisi pengurungan remang pengurung. Antara pemistik dalam cahaya mistik menggiring Nona berlaku setengah abu agar berdebu. Selintas agar tergambar garis-garis halus menengok pencipta jingga di luar ribuan kotak putih sana untuk sedikitnya berkilau di antara gulita.

Sepersekian masa akhirnya mentapkan Nona dalam ketetapan untuk 3 langkah mundur dari lilin jingga. Tunduk, menunduk dan bisu terduduk dengan gemulai seolah malu-malu pada abstraknya dia berperilaku. Alih-alih kembali ke habitat remangnya. Air dari pelupuk bias bola cahaya dalam non-ironisasi dengan segala kebiasaanya mengiris kembali pipi.


Maaf, Remang masih sejoli.
V E R T

21.1.13

'U': Hijau - Biru

Jemari-jemari Biru membuka. Melebam bermerah jambu menyambut ruh hijau bersipu sambut untuk menyapu ragu bagi Biru. Bila Hijau menjalang menjamah tanah beserta belatung nanah, liberalkan pupuk2 semesta untuk kesuburan ruh2 yang berniaga di Firdaus dunia.

Sesangka salahmu menyalahkan yang tersalah sesampai melayu mendayu sungguh tangguh, gundahkan dedaunanmu menggugur kelabu dalam basi labu.
Gugur, busuk, coklat & sepia. Tak begitu ketika Biru bersulam sapa Hijau. Dulu Abu, dengan kelabu. Kini jahitan kata menyulam selalu kalbu.


Masih mengenali dua ini?
Itu Hijau dari Abu yang sudah mati.
Kini sambut Biru penuh hati-hati
Sampai tergenggam terus ke galaksi nanti

19.1.13

Astronousa Hijau

Alkisah Hijau bermisi dalam mencari pohon galaksi. Dimana dia pada angka 10 berimajinasi tanpa rasa inkonsistensi. Selalu orgasme bersketsa dengan lanskap dalam semestanya sendiri. 

Terus terbang tanpa gravitasi dengan membawa mimpi menuju pohon galaksi. Hijau menikmati roda rotasi. Disadari inilah misi yang selama ini menjadi ciri yang pantas untuk berjalan dalam perjalanan yang dijalankan.

Dengan masa dalam kini masih menikmati dalam kenikmatan imaji yang dirasa sebutnya hakiki untuk terus dinikmati. Menjadi abstrak pun tak membuat katanya merugi. Adanya adalah teduh. Seteduh mimpinya untuk menyejukkan sekitar dan dunia. Melalui milyaran kata karena semesta, dari semesta, dan untuk semesta.

Aku. Saya. Kita.
Dunia, Semesta, Antariksa
Semoga mampu terjaga dengan semiotik kata.
Siksa aku penuh romansa 

Hingga semua mengerti kelahiran anak-anak prosa
Amin.

10.1.13

Di Biru

Nanti, kita bercinta. Banyak klorofil hijau berembun. Jodoh sepertinya dengan kita. Agar tentram dalam dekap bernama genggam. Jadi, sebelum terpanggil kita tangkap dulu satu bingkai cahaya. Mungkin akan menjadi kenangan untuk reinkarnasi kita masing-masing kelak.

Nanti, kita melihat semesta. Banyak tersketsa lanskap-lanskap berlian yang belum kita segarkan pada empat kelopak kita. Jadi, sebelum terpanggil kita gariskan dulu satu garis-garis arang kasar dalam satu karya estetik. Mungkin akan menjadi sebuah harga untuk yang berharga.

Nanti, kita bersatu dengan hijau dan biru. Banyak bangkai-bangkai indah menyatu dengan bumi. Menjadi pemberi untuk yang serakah. Ironi, mungkin. Tapi berbahagialah dengan kita yang sudah injak bersama menaiki di sini. Dalam dua menjadi satu di Biru.


Nanti.
Untuk Sebagian di masa depan.
V E R T

9.1.13

Katanya, Pemikir.

"Kalo ngebangke kelak mau kayak gini aja.", kata Pemikir
Tidak tahu tapi merasa iya. Menyetubuhi diri sendiri secara terpaksa dengan menyulam sulaman kelam. Selalu kelam. Dan hanya mampu menghirup oksigen pada dini hari dari malam. Itu sebutnya si Pemikir.

"Berlebihan!", sebutnya goblok. Dalam arti tolol berkelanjutan menjadi berkesnambungan dalam psikedelika hidup. Padahal nirmana yang dibuat malah abu-abu belaka. Bahkan sephia meraja bermahkota tanduk dua. Itu sebutnya Pemikir.

Visioner pendek bilangnya tak mencinta cita-cita berharap yang tak percaya diharapkan. Busuk bermuluk berhalusinasi selayaknya kabut memblur. Kabur malah menutupi lanskap sampah. Itu sebutnya Pemikir.

Inginnya bersampah sumpah serapah seperti jerapah terpotong lehernya mematah. Berbentuk 'L' berbalik. Bergambar layaknya diri si pembenci cermin. Berbias angka-angka kotor. Bineri tekno bermilenium penuh rumus-rumus pengganggu pola diri yang selalu berteori. Goblog sebenarnya, tapi itu sebutnya Pemikir.

Ada bangsa mengaku berbangsa lalai mengepak mulutnya sok seperti angsa. Payah masuk menjadi mereka. Sukar harus bagaimana, nanti menjadi apa, berapa banyak ideal dalam idealis maksimalis ketika realis masih sok-sok berkorban untuk sosialis, lalu malas dengan memelas agar nafas masih mampu bernafas. Ya, itu sebutnya Pemikir.

"Jadi sekarang ada masalah malah diresleting?", dan setelah itu pergi dengan antonim ikhlas dengan meninggalkan sketsa halus pada rupa. Menunjukan tua, klise dan kamuflase. Bilangnya 'Anjing' pun tidak akan didengar. Taunya, "Saya bilang saya binatang yang terjebak dalam kelamin sesat.", dan masih sebutnya Pemikir.

Sekarang? Ada apa sekarang? Mau meludah? Mau meniduri diri sendiri dengan dini hari? Lagi dan lagi? Tolol sepertinya. Pikirnya masih memikirkan pemikiran-pemikiran yang dipikirkan dengan pikiran-pikiran berpola pemikir fakir. Lalu...tetaplah itu sebutnya Pemikir.

"Cuk, saya ndak bisa ngapa-ngapain. Cacat senyum!", katanya. Kata-kata terbata bermerah bata. Lusuh, jijik dan tidak layak pakai. Akhirnya objek hiburanya pergi dengan ucap salam. Salam tinja. Hina!