4.8.13

Kopi Pasteu

Sulit sekali ketika sedang kumuh berlumur lumpur, lalu menyeberangi dua jurang dengan batang. Aku berhati-hati. Sudah takut, tetap saja lirikanku ke bawah. Melihat arus menyapa lirih. Liriknya berwarna biru. Seolah akan membuat darahku pun lebam ungu.

Saat menulis, jalanku menuju tengah. Andai saja...dan aku masih berandai-andai. Bagaimana menjadi satu diri-dua jiwa. Seperti terbuat dari mesin fotokopi. Yang satu pahit. Yang satu pekat. Jadi, berdelusi ada dua. Inginya segera sampai ke pelupuk mata.

Dan (masih) saat aku menulis, jalanku sudah melewati tengah. Lirikanku masih dilirik arus biru. Dengan gagahnya, aku sombongkan ke-aku-anku. Aku yang melankoli, setengah likantropi. Seekor likantropi di saat musim semi. 

Kedua tangan ini masih sebagai penyeimbang. Mata ini sebagai proteksi. Hawa badanku sebagai pertanda, memang betul aku ialah bangkai berjalan. Sungguh, seharusnya melodi melankolis yang kutulis tak harus memiris batin. Sialan...

Masih berharap ada dua. Biar kedua diriku itu yang saling membantu. Bukan batang, biru, cuaca, suasana atau semesta. Jadi, aku tidak perlu terjatuh yang-kini-lebam-muram. Bangsat kau alam...

No comments:

Post a Comment