29.1.13

Ditempel Koloni Ulat Daun

Fitria Zackia dengan Hijau dari 1999
Sayang, Fitria Zackia sudah ijab kabul
Kalian semua selalu Ounyonyo di dunia Piada
Allegra, Zy, Ryan a.k.a 3 Idiots
Diapit oleh 2 Novi
5 Juli 2012 berkisah dengan Geng Ternate
Semester 1 disebuah Kampus Unyu
Semester 3 antara Anggis
Semester 3 menuju 4 dengan Hijabers
Semester 5 dan 6 dan 7 dan 8 alkisah bereratan dengan MM
Theza Adhe berkelamin ganda


Rindu.

28.1.13

Rasio - Rasional - Irasional - Metarasional

Banyak di antara milyaran kata dengan berolah argumen yang tak mampu terjamah dengan olah pemikiran setiap personal. Tdak tahu apa yang harus dilontarkan untuk melontarkan pola pikir ini dalam bentukan halus. Seperti terlontarnya sebuah daun berembun. Berkeringatlah semua titik adu dengan gumaman bertopeng Vendeta. Mungkin seolah senyum tapi dibalik itu apakah ada sosok 
tanah berakal?

Seolah masuk diakal dengan pemahaman akan dogma dan tentang pengetahuan alam beradu untuk saling sangkal hingga sikap dangkal berujar sembari mengangkang. Peliknya seolah teori kakek moyang masih berkomat-kamit mengucap doktrin. Sesampainya pada lubang milenium, mereka anti thesis. Menghunuskan logika sebagai superior. Mengevolusikan dua kutub lawanan antara akal dan ilmu inginnya untuk menteror.

Benar-benar tidak pernah puas dengan kelirunya labirin-labirin yang berkoar bebas di antara batas. Benar-benar ingin sempurna di antara batas yang tak bebas. Sialnya lingkarnya ilmu dan tabu berirama untuk dikeluarkan saja diluar mampunya kutub kiri dan kutub kanan. Sinis termanis untuk makhluk tanah berkacamata ini sesegera mungkin untuk mati. Berisitirahat di bawah gulita selimut beranak belatung.

Sudahi saja pemikiran berakal yang terkadang diluar akal dengan non-optimistis batasan kemampuan usus kepala. Hendaknya melepaskan dua lensa. Meniupkan sepia dengan semu jingga. Menanti bulan tak kunjung berujung untuk mengunjungi penjunjung antariksa yang nihil di ujung. Ketikan-ketikan dari tiap ketiak jari ini setelahnya akan tutupkan layar dan tangkai kaca dari pelupuk mata.


Siang merajalela penuh rela.
Saya masih berpikir di lini masa.
Tanda tanya, bagaimana dengan kamu sepia?
Berakalkah inginmu saya kini dan seterusnya?

24.1.13

Mengerang Remang

Rotasi masa selayaknya landak yang merubah jarum-jarum dupa dalam rupa durga. Nona tampak halus tak bertapak dengan renungan bekas gulananya. Menggundahkan kegundahan yang selalu digundahkan. Pengulangan begitu dengan pengulangan lagi. 

Nona mengurungkan diri dalam kurungan dua sisi pengurungan remang pengurung. Antara pemistik dalam cahaya mistik menggiring Nona berlaku setengah abu agar berdebu. Selintas agar tergambar garis-garis halus menengok pencipta jingga di luar ribuan kotak putih sana untuk sedikitnya berkilau di antara gulita.

Sepersekian masa akhirnya mentapkan Nona dalam ketetapan untuk 3 langkah mundur dari lilin jingga. Tunduk, menunduk dan bisu terduduk dengan gemulai seolah malu-malu pada abstraknya dia berperilaku. Alih-alih kembali ke habitat remangnya. Air dari pelupuk bias bola cahaya dalam non-ironisasi dengan segala kebiasaanya mengiris kembali pipi.


Maaf, Remang masih sejoli.
V E R T

21.1.13

'U': Hijau - Biru

Jemari-jemari Biru membuka. Melebam bermerah jambu menyambut ruh hijau bersipu sambut untuk menyapu ragu bagi Biru. Bila Hijau menjalang menjamah tanah beserta belatung nanah, liberalkan pupuk2 semesta untuk kesuburan ruh2 yang berniaga di Firdaus dunia.

Sesangka salahmu menyalahkan yang tersalah sesampai melayu mendayu sungguh tangguh, gundahkan dedaunanmu menggugur kelabu dalam basi labu.
Gugur, busuk, coklat & sepia. Tak begitu ketika Biru bersulam sapa Hijau. Dulu Abu, dengan kelabu. Kini jahitan kata menyulam selalu kalbu.


Masih mengenali dua ini?
Itu Hijau dari Abu yang sudah mati.
Kini sambut Biru penuh hati-hati
Sampai tergenggam terus ke galaksi nanti

19.1.13

Astronousa Hijau

Alkisah Hijau bermisi dalam mencari pohon galaksi. Dimana dia pada angka 10 berimajinasi tanpa rasa inkonsistensi. Selalu orgasme bersketsa dengan lanskap dalam semestanya sendiri. 

Terus terbang tanpa gravitasi dengan membawa mimpi menuju pohon galaksi. Hijau menikmati roda rotasi. Disadari inilah misi yang selama ini menjadi ciri yang pantas untuk berjalan dalam perjalanan yang dijalankan.

Dengan masa dalam kini masih menikmati dalam kenikmatan imaji yang dirasa sebutnya hakiki untuk terus dinikmati. Menjadi abstrak pun tak membuat katanya merugi. Adanya adalah teduh. Seteduh mimpinya untuk menyejukkan sekitar dan dunia. Melalui milyaran kata karena semesta, dari semesta, dan untuk semesta.

Aku. Saya. Kita.
Dunia, Semesta, Antariksa
Semoga mampu terjaga dengan semiotik kata.
Siksa aku penuh romansa 

Hingga semua mengerti kelahiran anak-anak prosa
Amin.

10.1.13

Di Biru

Nanti, kita bercinta. Banyak klorofil hijau berembun. Jodoh sepertinya dengan kita. Agar tentram dalam dekap bernama genggam. Jadi, sebelum terpanggil kita tangkap dulu satu bingkai cahaya. Mungkin akan menjadi kenangan untuk reinkarnasi kita masing-masing kelak.

Nanti, kita melihat semesta. Banyak tersketsa lanskap-lanskap berlian yang belum kita segarkan pada empat kelopak kita. Jadi, sebelum terpanggil kita gariskan dulu satu garis-garis arang kasar dalam satu karya estetik. Mungkin akan menjadi sebuah harga untuk yang berharga.

Nanti, kita bersatu dengan hijau dan biru. Banyak bangkai-bangkai indah menyatu dengan bumi. Menjadi pemberi untuk yang serakah. Ironi, mungkin. Tapi berbahagialah dengan kita yang sudah injak bersama menaiki di sini. Dalam dua menjadi satu di Biru.


Nanti.
Untuk Sebagian di masa depan.
V E R T

9.1.13

Katanya, Pemikir.

"Kalo ngebangke kelak mau kayak gini aja.", kata Pemikir
Tidak tahu tapi merasa iya. Menyetubuhi diri sendiri secara terpaksa dengan menyulam sulaman kelam. Selalu kelam. Dan hanya mampu menghirup oksigen pada dini hari dari malam. Itu sebutnya si Pemikir.

"Berlebihan!", sebutnya goblok. Dalam arti tolol berkelanjutan menjadi berkesnambungan dalam psikedelika hidup. Padahal nirmana yang dibuat malah abu-abu belaka. Bahkan sephia meraja bermahkota tanduk dua. Itu sebutnya Pemikir.

Visioner pendek bilangnya tak mencinta cita-cita berharap yang tak percaya diharapkan. Busuk bermuluk berhalusinasi selayaknya kabut memblur. Kabur malah menutupi lanskap sampah. Itu sebutnya Pemikir.

Inginnya bersampah sumpah serapah seperti jerapah terpotong lehernya mematah. Berbentuk 'L' berbalik. Bergambar layaknya diri si pembenci cermin. Berbias angka-angka kotor. Bineri tekno bermilenium penuh rumus-rumus pengganggu pola diri yang selalu berteori. Goblog sebenarnya, tapi itu sebutnya Pemikir.

Ada bangsa mengaku berbangsa lalai mengepak mulutnya sok seperti angsa. Payah masuk menjadi mereka. Sukar harus bagaimana, nanti menjadi apa, berapa banyak ideal dalam idealis maksimalis ketika realis masih sok-sok berkorban untuk sosialis, lalu malas dengan memelas agar nafas masih mampu bernafas. Ya, itu sebutnya Pemikir.

"Jadi sekarang ada masalah malah diresleting?", dan setelah itu pergi dengan antonim ikhlas dengan meninggalkan sketsa halus pada rupa. Menunjukan tua, klise dan kamuflase. Bilangnya 'Anjing' pun tidak akan didengar. Taunya, "Saya bilang saya binatang yang terjebak dalam kelamin sesat.", dan masih sebutnya Pemikir.

Sekarang? Ada apa sekarang? Mau meludah? Mau meniduri diri sendiri dengan dini hari? Lagi dan lagi? Tolol sepertinya. Pikirnya masih memikirkan pemikiran-pemikiran yang dipikirkan dengan pikiran-pikiran berpola pemikir fakir. Lalu...tetaplah itu sebutnya Pemikir.

"Cuk, saya ndak bisa ngapa-ngapain. Cacat senyum!", katanya. Kata-kata terbata bermerah bata. Lusuh, jijik dan tidak layak pakai. Akhirnya objek hiburanya pergi dengan ucap salam. Salam tinja. Hina!