30.12.14

Dear, Dapur 2

Di antara keramaian semut yang berumpun saling menumpul bahu, aku melahap santapan duniawi, sendiri tanpa kesahajaan diri. Ada sedikit pedih di dalamnya. Merasa lebih sakit di saat melahap tanpa rangkulan sendok dan garpu dari mulut makhluk apapun. Inikah kesepian?

Harapanku akan hadirnya beberapa kalimat cakap yang mengundang gelak  tawa dalam prosa. Meski tergabung dengan salah satu sandiwara dunia, perutku pasti terhibur olehnya. Bagaimanapun rupa warnanya, seluruh inderaku pasti mampu tersenyum santun. Asalkan kesepian ini mati, aku mungkin bahagia berasama santapanku di setiap lahapnya.

2.11.14

Berbagi Roti

Kita bertarung. Silih mengurung dalam tempurung murung. Kamu menaklukan kalut, dan aku terlarut. Sampai akhirnya kita berseteru bergumam seru.

24.5.14

Melenguh Saat Peluru Menembak Mayatku

Bersusah payah memanjat tebing. Yang didapat hanyalah pasir bersisik. Berbisik, mengusik dengan klasik di tengah manisnya pahit.

4.5.14

Air Seni

Semua manusia mencacinya racun pekat, mentah, dan mematikan perlahan. Namun, anakku dengan warasnya tersenyum merawat kesenianku itu. Membuangnya dengan penuh doa, usaha, harap, dan tanggung jawab. 

26.4.14

मी

Sebab telah dipulangkan pada penjaga ego, membuyarlah aku pada egosentrisku sendiri. Pesakitanku adalah pucuk dari orang tua. Pergi dan kembali membiarkan kandungnya sendiri.

22.4.14

Telaga ke Ujung Semesta

Sampai kapan mendung akan mengutuk bumi? Hujan berbisik bisu ditutupi manusia-manusia yang meraja. Membual kasih dalam selimut. Berpuja-puji doa, semua mengikis theis. Rindu yang diharap. Tulus yang didamba. Merona abu di pelupuk langit. Kami yang menengadah bernada lemah. Mengoyak raga, menenggelamkan asa. Begitulah kelam berdesah muram.

21.4.14

Pelawak dari Neraka

Menyeringai padaku, dan dia engatakan aku permaisuri semesta. Berliur sehingga hutan menyendu. Bumi berseru, akulah raja dunia untuk melingkari surga di bawah telapak neraka, Tawa yang beriau, lumpuh yang merengkuh seluruh nadir darah, maka saat itupun hitam mempersatukan jiwa garis-garis bintang di atmosfera sana. Aku tetap menjadi titik.

13.4.14

Dua Parfum

Aroma busuk berjingkrak menyatakan perasaan masing-masing. Bergumam kata, bergulat prosa dalam satu ranjang bersama. Sehidup di kehidupan maya, semati di perjalanan fana. Ditemukan dalam satu irama. Gemingnya gelisah bernada desah meluruhkan ego yang melumat satu cium untuk selamanya.

9.4.14

'H'

Membentang diam dari kerumunan fakir. Menenggelamkan kikir dari kafir. Kufur berlumpur, bercumbu haram dalam dubur. Aku beruam singgah dalam auman demam. Lagi, diam. 

2.4.14

Gugur, Pelangi

Cerita selanjtnya, berawal dari benih. Berkembang menjadi sebuah pengembangan di ambang lembayung terbang. Dijadikan lah sosok seorang. Kelak menjadi orang-orangan di antara orang-orang. Kelak, tanya jawab lahir, logika campuran rasa hadir.

1.4.14

Ranjang, Kekasih Kami

Bertarung dengan gulatan lemah. Lunglai melambai bergemulai. Mulainya pertanda kami telanjang di atas ring tepuk tangan malam. Bulan sebagai lampu. Lampu sebagai bintang. Bintang sebagai Tuhan. Tuhan sebagai saksi. Saksi untuk kami yang bergemuruh di antara senandung nada mengatasnamakan kasih.

30.3.14

Jubah

Boros kata-kata dalam prosa, habislah sajak bersuara. Tidak yakin pada apapun sembari sumpit Lucifer memotong leher kalimat-kalimat puji. Seni menyegarkan anggapnya, menyeruakan gembira di neraka. Mengutuk yang bersahaja di piramida atmosfera. Percuma kini menjadi raja dan kutuk berada di sekitarnya. Diam saja bermakna mati saat hidup bersama kehidupan.

28.3.14

Hutan dan Salju

Setelah terbangun ada tanda tanya disekeliling Rubah. Nanar penuh naas beserta macam najisnya, dilahaplah organ-organ utuh. Berbasuhlah bir merah. Memuaskan dahaganya. Yang keluar berupa roh hanya diam menatap dingin. Tidak berselimut tebal penuh dendam. Karena dirinya tahu, menyadari akan kembali bersama bagian bumi.

Salju dan Hutan

Masih menikmati di antara pengelilingan labirin. Tertahan oleh tahanan yang bertahan menahan arahan perubahan. Seharusnya dan seharusnya, muncul selalu, dan ada.

27.3.14

Melankoli

Rontoknya daun sephia bertanda menuanya usia kedinian bumi yang berdiri. Seolah tak menerima putaran evolusi, stagnan berereksi di setiap centimeter. Aku layu senyap melepuh. Bergemuruh ditelan rupa pun lumpuh.

25.3.14

Solitude 1

Bergumam merujuk yang menunjuk oleh tunjukan penunjuk. Sebagai salah satu arogan dan ego yang bertahta kasta, maka disiksalah kerenungan hening. Sebuah cipta yang tak maha karya. Hanya seonggok cair sisa dari keringnya pasir bergurun gugur begitulah lukis sosoknya.

24.3.14

Petualangan Murahan

Di laut yang kaku selendang sutra membeku. Merayap, menyantap, menangkap kamuflase di antara aurora-aurora abu. Serupa namun tak berupa. Berkeliling di antara rerumputan bulu kuduk yang berirama menandakan nada bersama ritma-ritma jengah.

28.2.14

Mati

Ada kabut di ruang gelap menyambut patahan sayap bersatu kembali menuju pahatan tanah.

6.2.14