27.3.14

Melankoli

Rontoknya daun sephia bertanda menuanya usia kedinian bumi yang berdiri. Seolah tak menerima putaran evolusi, stagnan berereksi di setiap centimeter. Aku layu senyap melepuh. Bergemuruh ditelan rupa pun lumpuh.

Egosentris segaris berbadan manis menunjuk sebuah utusan. Ditanamnya padaku lembut-lembut. Merayu dan mengaduk menjadi sebuah persyaratan untuk memaki makna lain berunsur lenyap. Secepat-cepatnya ku gunakan semua wahyu itu agar sekeliling lekas menggebu menjadi debu.

Disangka dan diduga semua telah berpulang pada tanahnya masing-masing. Saat bersimpuh pada nama nisan, dilihatnya nama lengkapku dan nama-nama mereka yang sudah kumatikan dini. Kulihat rupaku pada salah satu embun. Sungguh jijik diantara semua yan menjijikan.  

"Secepatnya lagi aku merasakan bumi bergerak, manusia bergerak, maka evolusi ada. Tak hentinya aku menengadah, berpikir kemungkinan besok aku tiada. Bila ada, artinya aku masih menerimakan perputaran. Bila tiada, artinya aku tidak berusaha mensucikan penjijikan diri dari ketidakterimaan terima dan ubah."

Sebelumnya tersadar dalam tidur. Ini hanya kisah di atas gunung, dalam pelukan mayat, pelarian tulisan biadab, dan tumpukan kain hangat di atas kesendirian.

No comments:

Post a Comment