Menyeringai padaku, dan dia engatakan aku permaisuri semesta.
Berliur sehingga hutan menyendu. Bumi berseru, akulah raja dunia untuk
melingkari surga di bawah telapak neraka, Tawa yang beriau, lumpuh yang merengkuh seluruh nadir darah, maka saat itupun hitam mempersatukan jiwa garis-garis bintang di atmosfera sana. Aku tetap menjadi titik.
Ku cium satu-satu dengan beringasnya. Sembari telanjang untuk mempertontonkan
seluruh vaginaku pada dunia, mereka candu dan aku rancu sebagai racun. Berbisik jiwa, bahwa aku tercantik dalam kemolekan bidadari kegelapan. Dan, mereka meludah menghargai hinaan tarian jalangku.
Dogma mempertontonkan dosaku. Aku menyeringai atas nama Tuhan
yang tersenyum selalu. Baik atau benar tak ada cahaya apapun dalam ruang
sepertiga badanku. Ku mulai memperjuangkan hakiki keinginanku untuk menjadi
nakal atas nama tanduk-tanduk sketsa berabstrak para hala.
Bisa terdengar bias doa yang menyejukan malaikat malam. Tak
akan kugubris huru-hara cemas mereka. Senangku adalah bila aku berevolusi jadi-jadian menjadi serigala beriak domba. Tanduk yang ku tontonkan ialah teater alama bersahaja.
Menghormati kain kafan sebagai pemujaan santun.
Sangat mudah melengkapi yang muram dalam malamnya kelam. Aku
berdurja, semoga yang didepresikan akan segera dideskripsikan sebagai Luci yang maha gagah nan sutra. Senyum membangkiti mereka yang ingin merajai dunia dan membunuh
umat pelanggar kebaikan. Sujudlah aku pada labirin tolol.
Sebuah ‘Hahaha’ ku tonjolkan pada mereka yang komunal pada
keseimbangan akhirat dan dunia. Aku di hutan bersemayam pada tanah yang diduduki
burung-burung gagak. Terbang bermain sirkus dengan bahagianya. Penghibur
terhebat setiap tengah malam sebagai jemaat yang menikmati darah sebagai
pengorbanan diri lebih menghargaiku sebagai makhluk hina.
Hidupku bahagia, selama itu untuk diriku sendiri sebagai
permaisuri atas diri sendiri. Orang lain dan manusia lain hanyalah figuran
berbingkai bangkai. Akulah abadi di atas keabadian yang paling abadi. Mengabdi
untuk kesempurnaan atas diri yang membantah perintah keagungan Agung.
Dia ingin merefleksikan dosa di atas deritaku yang
menjunjung tinggi individualisme. Mengatasnamakan kebebebasan, kunamai diriku
sebagai Pelawak dari Neraka. Aku tak bertugas untuk apapun. Aku adalah Tuhan untukku sendiri.
Tak ada secercah cahaya suci dalam diri. Kusembunyikan
sendiri dalam duri. Menuntun sendiri dalam nama mimpi. Memasuki tanah subur
tuk mengabdi pada bumi. Akulah sang Mati. Mereka hanyalah figuran berbungkus
plastik kebiri. Kalimat pujianku adalah ‘Hahaha’ dibalik rantai kegelapan suri.
“Doaku adalah secercah
kematian tercantik di antara bumi bagi ¼ semesta. Berbahagia di atas nama
bermunafik maya. Aku hanyalah fana di antara makna ‘tiada’. Terima kasih sandiwara, karena semua adalah untuk ‘maya.’. Sekianku dan hilang.”
No comments:
Post a Comment