2.11.14

Berbagi Roti

Kita bertarung. Silih mengurung dalam tempurung murung. Kamu menaklukan kalut, dan aku terlarut. Sampai akhirnya kita berseteru bergumam seru.

Gendang perang belum berhenti menjadi dawai dalam sebuah gedung teater megah. Kita masih gerah, dan (masih) dengan gagah saling melawan lemah. Tanpa rasa heran, peraduan ini tak berakhir menjadi sebuah bincang di atas meja bersama teh di sore sepia.

Kita merasa gagal. Kita merasa jauh lebih nakal. Sayangnya, kini kita sama-sama tak berakal. Jauh sebelum semi berakhir, di mata Pencipta, kita sudah tidak bermental. Harusnya kita memang tidak-ada-ukiran-nama-kita demi dia yang mengatasnamakan Baal.

Kita merumuskan kata 'seharusnya' dan mengharuskan diri pada keharusan yang harus kita laksanakan untuk kehausan nafsu kita. Maka saat sadar, kita menghempaskan jantung kita masing-masing. Kita bercucuran merah. Tanpa saling duga kita tidak tersenyum lega saat saling meninggalkan raga satu sama lain.

Pada akhirnya kita sepakat pulang. Berjanji tetap melihat dari kejauhan. Tentunya berjanji pula untuk menerimakan sisa-sisa jantung yang kini telah menjadi potongan-potongan makanan tepung terigu lucu bagi para serigala hutan. Anggap saja kita kelak akan berbaur dengan dan di dalam para serigala fakir itu. Bukankah kita sebenarnya baik karena telah berbagi dan pernah-saling-berbagi?

Kamu bahagia?

Aku? Tidak.

No comments:

Post a Comment