27.5.13

Jangan Bunuh Rahim Saya

"Merah."
Deras, berselancar dalam getar rasa gemetar. Warna merah ialah yang kamu pilih untuk menyakiti Ibumu. Namun tetap diketahui itulah pemberian setimpal Pencipta. Inginnya bukan hanya kau, Ibumu pun takdirnya akan berperasa sakit. Dan masih tetap terjadi di pojokan remang dengan percikan nada-nada gemericik.

"Maaf."
Kematianmu tidak akan memisahkan keputusan temali yang sudah diputuskan atas pemilihan. Dikarenakan itu adalah pilihan terpilih. Sesampai senandung air mata bergumam di pojokan nada-nada percik berair, Ibumu tetap mengasihi dan menunggu kembali pulang.

"Mengudara."
Ayahmu berbicara bahwa kau lahir di antara tiga dimana puncak-puncaknya bulan berlomba dengan segala semesta bahwa dirinya yang teranggun di harimu. Ayahmu berbicara, bahwa kau sedang bermain di sana. Tempat dimana ruh belum menyajikan kemauan untuk menghadiri Ibumu di angka tujuh. Hingga Ayahmu berbicara kembali bahwa bersabarlah. Tetap bermain di udara. Biarkan Ayah dan Ibumu menyiapkan sebuah 'nanti'.

"Tunggu kami."
Ibumu takut dalam ketakutan ditakuti dirimu. 7 hari kelahiran, kematian dan pertungguan kebangkitan, Ibumu sungguh menjadi pesakitan atas kesakitannya. Itu bukan pembalasan, hanya saja timbangan telah mengukur apa yang harus dihadiahi untuknya. Sebuah rahim baru bernanah darah.


Fiksi setelah titik. - ASTRONOUSA

No comments:

Post a Comment