Laut: "Aku astaga-apa-ini-namanya."
Langit: "Aku dan Kamu buat kisah."
Laut: "Kisah Kami."
Langit: "Kita berkisah."
Laut: "Kisah kita diawali perpisahan."
Langit: "Perpisahan mempertemukan kami."
Laut: "Satu pintu tertutup, pintu lain terbuka."
Langit: "Jadilah dua dalam satu pintu sama."
Laut: "Pintu itu menuntun kami menuju lorong, ujungnya gelap dan ketika kami melihat ke belakang, lebih gelap, tapi kami punya cahaya. Cukup untuk kami berdua; saya bisa melihat wajah kamu dengan jelas pun sebaliknya. Jangan redup."
Langit: "Jadi, kami adalah cahaya untuk kita. Biarkan kini berproses untuk menjadi nanti hingga lahir pasti."
Laut: "Jadi, jalan ke depan. Titik berangkat sudah tidak mungkin didatangi lagi, sementara 'pasti' masih nanti, sama gelap. Tetap beriring akan lebih mudah, jauh lebih mudah. Saling beri cahaya. Jangan redup."
Langit: "Karena Semoga dan Amin ialah perantara; saya percaya; kamu setengah; saya setengah."
Laut: "Saya percaya kamu setengah saya, sejauh ini, sampai saat ini. Saya temukan kamu, kamu temukan saya. Dan benar, kamu mebawa perbuhan besar dalam hidup saya."
Langit: "Dari titik menjadi garis, maka terukir lukis. Saya di atas, kamu di sana, bertemulah kita di antara pinus berudara."
Laut: "Kamu sedang peluk saya dari belakang ya? Merinding."
Langit: "Semoga dan Amin."
Kami adalah Kita.
Kita berasal Dua.
Satu sebagi setengah.
Firdausnya di Pinus berudara.
V E R T
No comments:
Post a Comment