7.7.13

KETOMBE

Lembaran-lembaran pohon pinus sudah dibuat. Pada waktu yang bertentangan dan menentang dirinya, ada seseorang yang sedang berpulang. Lembar-lembar itu seolah sudah percuma.Melayu, mendungu. 

Dia tertidur lelap sekali. Banyak warna putih dimana-mana. Dan ada satu pucat kusut bertebaran di bawah genteng leher. Merengek minta dikenang. Mungin karena warna sephia yang membuat mereka sombong ingin bermanja ria ingin dikenang.

Lembaran pun sedikit menguning saat ikut menjadi saksi menunggu ajal Dia. Hanya saja mereka tidak tahu apakah Dia sudah ditengguk ajal atau masih menunggu dibalik lelapya. Melihat selimut jatuh cinta dengan tubuh Dia, rasanya selimut terlihat tanggung hanya menutup setengah badannya. Sudahi saja menjadi seluruhnya. Geram dan ikhlas.

Setumpuk pucatan sephia meregang saat terelus setiap helai. Iya sebenarnya telah merasa dewasa karena sudah mampu memilih sesuatu. Iya sebenarnya sudah siap jika akhir kali ini adalah setumpuk pucatan sephi saja yang terakhir yang akan dikenang. Toh Dia sudah tak cukup mampu untuk tetap merawat tumpukan-tumpukan itu.

Makna ikhlas itu Iya katakan pada Dia,
"Kamu pergi saja. Lembar-lembar pinus ini akan aku sebar seperti kamu menyebarkan tumpukan sephia saat kita tidur bersama. Bila kamu ingin menyudahi untuk tidak menebarkan lagi pun tak apa. Toh, Tuhan masih dan tetap tersenyum. Aku sudah berkecukupan menabung sephia, menumpuk ketombe dan menebang pohon. Kini saatnya aku bersih-bersih."

Senyum dan Dia memang telah berpergian satu jam sebelum Iya berkata. Tidak ada bulir dari kisah ini. Hanya setumpuk ketombe yang tertinggal di bantal.

No comments:

Post a Comment