23.9.11

Arubiru Anindya Pati

Memahami tempat berlabuhnya satu sisi tempat yang menyajikan surga duniawi. Tersiksa mendekap kehidupannya. Mendambakan uluran tangan bersayap cahaya, tulus dan lembut. Hangat memangsa bahagia di langit sana. Itu yang diharapkannya.

Sisi semu dari kehidupan kematian alam bawah logikanya merapatkan bahwa dia hidup memang berjalan tanpa kesempurnaan. Menjamah rindu Sang Tuan yang mengurai cumbu kebutuhan untuk alam firdaus sana. Tidak berirama dengan angin menyepoi. Dia hanya terbawa arus ombak berpuyuh dengan kencangnya -yang berakhir- kata rusak.

Terdampar dalam kotoran kelamin perusak kelugasannya untuk untuk 'tidak berperasa' pada sosial sekitar. Berjalan dan terus berjalan pada sisa hatinya yang masih mewangi untuk mengurai kedatarannya pada yang disayang. Ada satu pertanyaan kembali, "Mengapa mereka meniupkanku ke belahan tempat penuh dalam kubangan kemunafikan jika pada masanya aku hanya menjadi benalu dan dirusak?"

Dia ingin membiru tragis. Kekesalan dan kesedihannya buat peluh menjadi keluh. Sadar tidak sadar hanya cinta yang sejatinya akan membuat rambut yang terurai itu bisa terelus halus -hanya-oleh-seseorang-yang-tulus'. "Mengapa? Mengapa? Dan..mengapa?". Dia masih buta untuk memahami perjalanan menuju kematiaanya. Padahal, itu bukan hal sendu untuk dijadikan drama hidupnya.

Ini tidak akan disesali, namun akan ditangisi. Tapi dia tidak berharap apa pun. Semakin jauh melangkah, dia makin perih dan letih untuk siap diberi jawaban dari kata 'mengapa'. Ini dinamakan sakit. Ini dinamakan penyakit. Pikirnya mungkin itu.

Dalam dunia semu berwujud kaku. Hatinya tak bisa terjamah oleh apa pun dan siapa pun. Abstrak bila dijelaskan. Dia tidak mengerti makhluk apakah dia. Terlalu keruh bila diludahkan dalam kata-kata. Ratapan usang mulai membelanga dalam pikiran kosongnya. "Iya, aku gila. Lebih baik aku membiru. Mereka sudah kosong dan untuk apa aku hidup jika kekosongan mereka tidak bisa penuh dengan arti 'diberi dengan tulus'?" 

Tiba saatnya mengerti, jeritan berbentuk astral itu berbunyi. Mengiung-ngiung dalam khayal berwujud yang sebentar lagi akan diwujudkan. Bulan purnama sedikit menguning, kini menemaninya bersama gelap berabu tercampur biru. "Ya, aku akan menutup mata. Akan aku lakukan. Ini takdir yang aku buat."

Salah? Sepertinya mereka yang merusak pun sudah mendekap kegilaan yang kini terpelihara dalam logikanya.  Bermaaf, sudah terlambat. Berbicara sudah membisu. Berlinang dengan terjunnya air mata, sudah berbuat. "Tidak Tuan, aku tidak akan menyesal. Tagisan ini hanya sementara. Dalam neraka nanti aku akan menikmati. Jemputlah Iblis untuk menerjunkan arwahku dari tubuh biadab ini."

Maka, perlahan tanpa usang, dia terjun dari ketinggian. Tersenyum menikmati pesakitan yang dia terima. Menyadari inilah yang dia sebut bahagia, cinta dan damai. Tidak perlu ada beban, membebani dan terbebani. Maka, selamat tinggallah untuk mereka yang menyiakannya. Cerita kisahnya terlalu absurd untuk diperdebatkan dan dibuat kalimat.

"Tuan, inikah damai? Aku menikmati tubuhku dicumbu angin, bulan dan malam. Jaga mereka, -yang buat aku lumpuh- hingga sampai aku bertemu dengan semuanya di neraka nanti. Izinkan aku untuk bermaaf pada-Mu dan pada dunia sementara ini. Aku, Arubiru Anindya Pati, ingin berterima kasih untuk keabstrakan ini. Amiin."

Kirana sedang bersenandung. |  V E R T

No comments:

Post a Comment