29.10.16

Abhati

 Rihanna - Good Girl Gone Bad

Aku percaya ibanya sekular adalah untuk memanusiakan manusia. Sayangnya itu dulu sejak aku mempercayai apakah bentuk kebebasan itu hanya mitos belaka yang dilahirkan adat dan budaya. Aku sampai saat ini masih meyakini kesendirian dan ditinggalkan.

Terbahak aku menjawab dengan kata 'tidak' akan delusi makna indah. Metafor-metafor sajak hanya menutupi prosa-prosa suci susu sang ibu. Aku sempat berterima kasih, tetapi tuntutan akan pemahaman untuk memeluk theis masih kucari. Kelak mati mungkin saja menjadi bagian dari diri.

Refleksi anatomi diriku dipercaya untuk pantas dipercayai mereka yang mengurung retina dan gendang suaranya. Membiarkan sepertinya sama saja dengan menikam perlahan. Sampai suatu hari aku akan melihat bayak barisan nisan yang seolah bersinar dengan rentetan isak. Begitu jika aku menemukan batang-batang tali kekar, mereka hebat. Mampu menerkam tiap nadi yang menurutku tak perlu terlalu dipagari. Dengan senangnya berupa bangkai, aku merelakan mereka mencekik setiap kegaduhan pesakitanku. Aku menikmati.

Aku rasa, jangan menipu sang penipu berwujud surya. Tetap duduklah di sudut abu-abu. Tunggulah sampai ajal mengucap sapa di depan belantara semesta.



Bangsat.

14.4.16

Mengkal

♫ Basick & Paloalto - Nice Life

Bermengkallah jantung beserta anak cucu darahnya. Nadir berkata untuk lenyap. Senyap hendaknya menjadikan pertemanan untuk raga yang berdiam.

Omong beserta kosongnya  menyaring ke puncak jurang pertanyaan. Mengatur untuk diatur pun tak mampu. Bereaksi agar terjadi reaksioner kini untuk esok pun malah meluka. Luka berdupa agar sesaknya nyata.

Mungkin harapan digantung jauh-jauh mendekati atmosfer. Semakin tinggi, semakin dijauhi ekspektasi. Mungkin pula baiknya melukis tipis irisan-irisan garis statis. Bila nikmat, mungkin 'kan dilumat.

"Biar jadilah sebuah karya yang menjadi-jadi..."

13.4.16

Candala


 Luigi Rubino - Last Dance
Mungkin membiarkan tembok berhala itu retak, dudukku terbias memojok akan lebih terlihat berelok di mata Sang Keji. Makin termangu, makin terlihat dungu. Padahal sungguh, sayu di sini lebih kecut dari kecapnya.

Rendah di antara yang paling rendah. Dina di antara yang paling hina. Belanga di antara yang paling rusak sekalipun. Pun tahu bahwa gemercik sakit ini semakin hitam semakin mencaci. Tumbuhlah duri-duri di antara yang paling merasa suci. Selalu, repetisi.

Banyak di antara pembuat irisan miris ini menggubris perih. Jauh untuk bersuka tanpa tambahan 'ria'. Bodoh saja bertambah cemooh, di akhir sukar tanpa meniti. Menjahit rakitan ketenangan pun  jauh diraba pun bahkan ditata.

Ribuan hardik kerap yang kecil dibuat makin kecil. Dianggaplah berbangkai yang tak berbingkai. Yang masih berbayang di pelosok cela akan membesar. Perlukah untuk diluhurkan?


29.2.16

Kurung

Brian Crain - A Light in The Window

Pernah menolak untuk memanusiakan seekor domba. Hanya nikmat merantai saja. Mengikat terlalu dan sangat erat. Entah bagaimana caranya domba itu kuat bertahan. Meski akhirnya lembar isi hariannya pelan-pelan termakan ilalang. Sampai jadinya fosil karang. 

Kali ini bukan Raja yang menegur untuk memerintahkan kami berkubang dalam kenangan. Betelgeuse merelakan dirinya menyumbangkan sepatah kalimat. Mungkin akan berbentuk ceramah malam. Tapi sebenarnya penjahat biarlah tetap mencicip pisau. Daripada harus meniduri kebaikan dan menimang tulus. Sukar dipercaya, sukar mempercaya. Maunya enyah saja. Percuma.

Betelgeuse selalu kokoh. Dalam ujian kali ini, dia muncul di sore cerah. Sembari menggembala ke tiap jendela rumah, dia hanya berulah dengan bijak sesuai bersama masalah para serigala itu. Ada satu serigala yang kaca jendelanya hanya terbuka setengah. Bersamaan dengan jumlah sedikitnya senyum karena biru langit penuh muda saat itu, ia menyapa Betelgeuse.

"Bila kamu mencintai domba, bebaskanlah dia. Namun, bila kamu mengintainya dari awal, dia memang benar bukan milikmu."

Begitulah cara sapa Betelgeuse pada satu serigala unik itu. Balasan tawa serigala hanya dengan cara berdiam dibalik setengah kaca jendela yang terbuka. Menyadari haruskah dia tetap diam atau membuka sisa setengah jendelanya?


18.2.16

Jendela (2)

 Tom Day - Going Home

Ya, aroma jeruk dan menthol Marlboro. Samar namun penuhi merah muda. Saat itu masih ada potongan dua bulir oranye. Satunya mengira bahwa kesepian hanyalah milik sendiri, ternyata beberapa pun memiliki.

Abu-abu penuhi debu untuk beberapa ingatan yang pernah dibakar. Semua tetap terlihat dua, tapi satu pernah berkata, 

"Ada kalanya yang tidak terlihat itu mungkin lebih luar biasa."


Beberapa saat lalu, ketika kecepatan cahaya mengalahkan kecepatan Pencipta untuk berkedip melihat para robotnya, kulakukan sedikit penjelajahan kembali untuk mencicip rasa hidup. Tidak disangka, penuh dengan kesengajaan, jendela yang dulu bercerita akan tujuan kita masing-masing, kini kutemui lagi. 

Ada haru, tanpa lebam membiru. Aku sedikit lebih jauh untuk mengingat yang terlupa. Apakah fungsi jendela? Untuk menyembunyikan atau memperlihatkan?

...atau, keduanya?

1.2.16

Berdiri

 Koji Kondo - Serenade of Water


Terkurung dalam pekat hitam. Terbawa ramainya riuh bayang gema. Tak mampu atau tak mau mengukir tangga-tangga cita. Berusaha pun hanya diam dan mati dalam kubang lubang supernova. Merasa renyah sesudahnya. Maka, diteruskanlah, setelahnya.

Helaan udara terhembus. Lesunya makin melemah. Sukar berkata, tak ingin berusaha. Kemarin, saat ini, dan mungkin nanti akan tetap menikmati. kebangkaian ini.

Jantung bergemuruh hingga pesatnya meluncurkan merah muda yang melempar rasa. Diri menikmati sapaan sendiri. Tanpa pacuan apapun, atau picuan dari manapun. Tahunya, kesendirian yang membangkitkan hidup dari matinya sendiri. Sendiri.

"Tidak takut untuk takut pada ketakutan-ketakutan..."

Gumaman itu  melanjutkan langkah-langkah bekunya. Meremukan bangunan-bangunan keputusasaan.

"...dengan sendiri, hijau akan tumbuh lagi..."

Hanya perjalanan yang perlu dijalani. Selanjutnya, menyaring yang perlu dilahap untuk logika dan raga, hingga temukan ukiran-ukiran untuk dilukiskan.