25.10.11

SUPERNOVA

Mari, saya akan kenalkan dia. Dia seorang penjelajah kehidupan. Sejatinya seorang yang cerdas karena dari apa yang sudah dia banyak jelajahi. Termasuk semua hawa yang banyak membuat dia banyak bersketsa di setiap lembar sketsanya.

Dia saya sebut seorang Supernova, banyak berjalan dengan beberapa hawa. Bukan beberapa, nampaknya berpuluh sepertinya. Apa yang dia inginkan selalu terpenuhi. Menggoreskan hawa untuk terlungkup padanya. Pemujaan mereka padanya tiada henti tanpa demi masa.

Sepertinya bukan karena rupa tapi dupa. Itu kharismatik berwujud unik ada dalam dirinya. Dupa asapnya menyebar hingga ke terjunan hati tiap hawa yang mencumbunya. Nampaknya itulah utamanya dia untuk menjadi seorang Supernova.

Setiap sketsa lembaran kisah demi kisah memulai dan selalu berada dalam akhir setiap perjalanan yang bergores sia. Kadang berestetika, kadang hanya berwaktu seketika tak berupa rahasia. Monoton dengan pengulangan absurd berulang. Di sinilah puncak pertanyaan berhinggap dengan terulang terus berporos namun persefektif.

"Apa yang harus dicari? Seperti apa lagi? Harus bagaimana? Ingin seperti apa? Tidak ada satu pun, mungkin berpuluh dari mereka tidak ada yang membuat diri ini menjadi adam yang hingga bisa merasakan tragis, miris bahkan berlama untuk menangis. Aku haus dengan rasa sakit. Kenapa mereka beku, kaku dan tidak tajam seperti paku? Ini sangat terlalu lurus."


Dia memang abstrak. Merasa dan menyadari. Banyak sketsa yang telah dia buat tapi tak ada yang buat dia ingin mengsketsa lembaran tiap kertasnya dengan pensil warna. Di setiap cerita dengan para hawa itu selalu berakhir berabu. Seharusnya ada aurora sang hawa satu saja yang menyelip di helai kertas sketsanya itu. Kembali ke dua sisi dia sadari memang diantara mereka tidak ada yang berdiri menusuk menjadi duri ke dalam hatinya. Sungguh absurd.

Sebanyak apa pun hawa yang berketuk dan tunduk meminta salam pada pintu kehidupannya, tidak ada (mungkin belum ada) yang buat dia berbinar. Mengeluhlah dia, sang Supernova.

Kembali, dia berdupa. Dupa sebagai bentuk dia menjadi adam yang cerdas membentuk sebuah idealisme buat dia dikagumi para hawa. Dari kecerdasannya pula, lalu dia menyimpulkan apa yang belum disimpul selama perjalanannya ini:

"Mengalir dengan hembusan angin dan air sebagai titik objeknya. Mungkin menunggu atau mencari tanpa terburu. Mungkin lebih baik begitu adanya. Aku akan belajar untuk tidak berbuat sia pada mereka yang sudah mengetuk dan akan menunduk padaku."


"Bimbing aku Agung. Pertemukan aku di depan nanti dengan sejatinya hawa yang sesungguhnya akan menjadi RATU bagiku, jika memang dia dicipta dan akan menciptakan masa depan untukku juga. Amin..."


Sedang beristirahat dengan ujian dan bertarung dengan waktu. |  V E R T

No comments:

Post a Comment