3.1.12

Lelap

Saat berdiri pada bubuk tanah berdasarkan irama debu. Gaun hitam, panjangnya rambut pun menggelapkan optik dari lancip jauh. Tegun prasangka, kecantikannya buat layu mawar dan sekitarnya. Senggama angin dan malam menggemparkan alam dan luar angkasa.

Tegap namun lembut. Keras namun anggun. Tidak jauh dari feminisme kawanan rembulan dan anak-anaknya rasi bintang berceceran. Kontrasnya kecantikan dan sesaknya nyawa terdengar dari dentuman vital. Padahal cita belum terwujud.

Memilih menjadi siklus. Menyatu bersama alam. Bereinkarnasi menjadi makhluk lain. Itu pilihannya. Tak ada pun yang mendengar auman gelap ketika semua terlelap dengan mimpi. Teriak murka, rancu dan memicu. Terperosok pada pekatnya liberal anal.

"Saya tahu kecantikan ini tidak akan ada guna bila aku tidak bersetubuh dengan tengah malam, gelap dan sunyi. Izinkan saya untuk teriak, tidur, mimpi, hingga lelapnya ajal membuka..."

Sedikit lelaki, dan itulah sensualitas yang terjadi. Merundukan kepala, tangan mengepal, berdiri anggun... Lalu menengadah pada Nona Bulan. Titik itu sebagai penutup, dimana kecantikannya terkubur menjadi bangkai. Batu nisan menjadi tanda, sebelumnya maki menjadi saksi.

"Saya tersenyum sebelum masuk neraka sana jika memang tersedia. Biarkan mereka murka. Biarkan mereka menerka."

Lelap dalam gelap ketika sekitar belum menangkap lanskap dirinya yang belum hinggap tertancap pada 3 titik rangkap.

Semoga lekas diampuni. | V E R T

1 comment: