1.4.14

Ranjang, Kekasih Kami

Bertarung dengan gulatan lemah. Lunglai melambai bergemulai. Mulainya pertanda kami telanjang di atas ring tepuk tangan malam. Bulan sebagai lampu. Lampu sebagai bintang. Bintang sebagai Tuhan. Tuhan sebagai saksi. Saksi untuk kami yang bergemuruh di antara senandung nada mengatasnamakan kasih.

Bernajis rupa, berburuk muka. Kami tak peduli. Kami ialah dua pucuk santun yang beruntung mencari makna di antara setumpuk arti. Ada aku, ada kamu, ada mereka, ada Dia, ada kita, ada kami. Yang-sebut-saja-mengeluh-dalam lenguh.

Kotoran yang dilontarkan beranggap sebuah seni. Seni melambatkan waktu seolah dunia milik kami atau kita atau dua yang dibagi dua atas nama satu dalam seluruh. Lonjakan kasar bertimpa ramah bermuram dalam keringat rusuh bercampur luluh. Lulus di atas kain-kain basah yang menyaksikan.

Kami ciptaan Tuhan yang keluar dari jendela surga. Atas tanda tangan Jibril dan Mikail kami menyatu untuk menjadi ayah dan ibu bagi keturunan di atas ranjang kami. Kami ibu dan kami ayah untuk penganut kami yang menyanjung kami sebagai jodoh pemula yang belum mengetahui takdirnya. 

Kami dikejar nasib yang digurui waktu. Waktu meraja, padahal kami sepakat bahwa waktu telah dikubur mati-mati bersama kematian pasir lainnya. Kami hanya menyaksikan ranjang yang runtuh.

"Dan kami diam bergemuruh dalam hati di antara dubur subur."

1 comment:

  1. keren

    gw suka heran kok orang bisa nulis panjang dan rangkai kata2 nya bisa selaras
    sedangkan gw
    ngerangkai 10 kata ajah susah

    ReplyDelete